Aktivis HAM Natalius Pigai/Dok.Wikipedia

Aktivis HAM Pertanyakan Konsistensi Omnimbus Law di Kasus Rempang

Editorindonesia, Jakarta – Aktivis Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menilai konflik Rempang, Kota Batam terjadi karena adanya tumpang tindih kebijakan antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Dimana dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan UU memberikan izin.

“Dalam kondisi seperti ini justru kita pertanyakan seberapa punya pengaruh UU Omnibus Law yang sudah disahkan itu? Kalau konsisten Omnibus Law diterapkan dan punya daya gedor tinggi mungkin bisa jadi solusi,” ungkap Natalius kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (30/9/2023).

Dalam amatan Natalius, patut diduga di Rempang ini sudah terjadi jual beli izin oleh Pemda hingga Pemerintah Pusat berdasarkan kewenangan yang dimiliki.
Dimana pada yang saat yang sama, Badan Pengusaha (BP) Batam berjalan dengan kewenangannya sendiri.

“Katakan izin hotel atau bangunan atau apa pun itu berdasarkan UU Pemda, demikian juga yang dapat konsesi lahan dari KLHK itu karena UU Lingkungan Hidup. Jadi terjadi tumpang tindih di situ yang berjalan sendiri-sendiri, padahal dari dulu Batam itu berdasarkan UU Investasi di bawah BP Batam. Jadi Omnibus Law yang katanya menggabungkan semua regulasi itu di mana?” sesal Pigai.

Bagi dia dalam kasus Rempang, urusan dengan masyarakat yang berpenghuni sebenarnya bukan masalah yang sulit karena masyarakat bisa diajak bicara. Hal yang sulit adalah adanya izin-izin oleh Pemda dan Pemerintah Pusat yang sudah diberikan.

“Jadinya kan investor dirugikan oleh Pemkot, Pemerintah Provinsi, BP Batam sendiri dan Pemerintah Pusat yang berjalan sendiri-sendiri. Investornya diperas dalam ketidakpastian dan orang-orang liar masuk karena bertahun-tahun tanah terlantar. Saya menduga ada praktek jual beli izin oleh Pemkot, Pemrov dan Pempus,” ucap Pigai.

Seperti diberitakan sebelumnya, bentrokan pecah antara warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam pada Kamis (7/9/2023). Peristiwa itu terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City.

Rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City mencuat sejak 2004. Kala itu, PT. Makmur Elok Graha menjadi pihak swasta yang digandeng pemerintah melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam bekerja sama.

Kini, pembangunan Rempang Eco City masuk dalam Program Strategis Nasional tahun ini sesuai Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp381 triliun pada tahun 2080. (Her)

Baca Juga: Sedari Awal Warga Pulau Rempang Tidak Mau Digusur, Ini Faktanya