Ilustrasi Kekerasan pada murid/dok.mi

Aktivis Sesalkan Penanganan Kasus KDRT Banyak Kendala

Editor Indonesia, Jakarta -Aktivis perempuan sesalkan penanganan kdrt banyak kendala di sepanjang tahun 2022. Forum Pengada Layanan telah melakukan pendampingan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan kategori kasus kekerasan psikis sebanyak 1.248 kasus, kekerasan fisik sebanyak 559 kasus, penelantaran sebanyak 526 kasus, dan kekerasan seksual sebanyak 855 kasus.

Menurut aktivis Perempuan Mahardhika Vivi Widyawati, hambatan implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dari tahun 2004 hingga saat ini masih sama yaitu persoalan perlunya perkawinan yang dicatatkan sebagai salah satu syarat UU ini bisa diterapkan. UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maupun di Catatan Sipil.

“Persoalan selanjutnya adalah kurangnya kebijakan operasional dalam UU sehingga pada saat ini masih terdapat perbedaan tafsir pada aparat penegak hukum mengenai kasus penelantaraan rumah tangga dan perintah pelindungan yang susah sekali didapatkan oleh korban,” kata Vivi dalam Konferensi Pers 19 tahun UU PKDRT di Gedung YLBHI Jakarta, kemarin.

Selain itu, proses pembuktian juga tak kalah pelik. Keharusan untuk adanya satu orang saksi ditambah dengan satu alat bukti masih menjadi kendala dalam pembuktian kasus KDRT di tingkat kepolisian.

“Belum lagi banyaknya kriminalisasi korban KDRT yang masih terjadi, di mana ketika istri dilaporkan proses hukumnya selalu lebih cepat dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban,” tambah Vivi.

Perwakilan dari Forum Pengada Layanan Siti Mazuma menambahkan kesulitan dan hambatan yang dialami korban dalam 19 tahun perjalanan UU PKDRT ini adalah alarm bagi pemerintah. Penanganan korban masih terkendala dengan minimnya pemahaman aparat penegak hukum tentang KDRT dan budaya hukum yang belum sensitif gender.

“Ini mengakibatkan terhentinya proses hukum dan penyelesaian kasus yang belum berorientasi pada pemenuhan hak korban. Minimnya dukungan dari keluarga, tempat kerja dan lingkungan terdekat membuat korban sendirian menanggung kasusnya. Menjadi semakin terbebani dengan stigma sosial sehingga tak jarang yang kemudian mencabut laporan,” jelasnya.

Karena itu, dia meminta agar pemerintah melakukan sosialisasi dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang KDRT dan UU tentang Pencegahan KDRT.

Lemahnya pengetahuan masyarakat akan KDRT menjadi faktor terbesar hambatan untuk mencegah dan melindungi korban KDRT. Perlu juga mengintegrasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementrian Kesehatan, Kemenkum Hukum dan HAM, Kepolisian, dan Rumah Sakit dalam satu jaringan kerja untuk pencegahan dan perlindungan dari KDRT.

“Harus dipastikan juga aparat penegak hukum mulai dari struktur yang paling bawah untuk menggunakan UU tentang Pencegahan KDRT dalam menangasi kasus-kasus KDRT. Kami juga mengajak berbagai pihak seperti publik dan media untuk melakukan sosialisasi stop penghapusan KDRT karena KDRT masih mengancam hidup perempuan,” ujarnya. (Her)