Artificial Intelligence dan Pelanggaran Hak Cipta
Editorindonesia, Jakarta – Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan mulai menggempur media massa, baik cetak dan elektronik (televisi, radio dan website). Peran pekerja media pun mulai tergerus AI.
Demikian disampaikan Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes, Pemerhati Telematika & Multimedia Independen, dalam Forum Diskusi Media bertema “AI (Artificial Intelligence) dan Keberlanjutan Media” di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (29/1/2024). Hadir pula dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Museum Pers Nasional dalan Rangka HPN 2024, DirJen IKP Kominfo Dr.Usman Kansong, Ninuk Pambudy dari Kompas, Dahlan Dani dari Tribun, Wahyu Dhyatmika dari Tempo dan Agus Sudibyo Dewas TVRI.
Menurut Roy Suryo, teknologi AI telah menggempur dunia kreativitas termasuk media massa. Bukan hanya ChatGPT yang mulai populer digunakan, namun algoritma teknologi AI atau kecerdasan buatan juga mulai mengambil jatah posisi dan peran pekerja media sesungguhnya dalam melaksanakan tugasnya.
“Saat saya sebut nama-nama seperti Anya, Devano, Nadira, Sasya, Bhomi misalnya, yang mana mereka itu adalah presenter AI yang sekarang sering ditampilkan di salah satu TV swasta dan secara tidak langsung sudah “mengambil alih” tugas penyiar sesungguhnya,” ucap Roy Suryo
Masyarakat, jelas Roy, mulai terbiasa dengan naskah yang sebelumnya masih diketik reporter berita, namun selanjutnya diolah dengan “Text-to-Voice Synthesizer” dan digeneralisasikan ke model penyiar 3 sehingga tampak lancar bisa berbicara seperti penyiar sungguhan.
Tentu ini berbeda dengan teknologi audio-feeding, ungkap Roy, yang sering digunakan oleh presenter dihampir semua stasiun TV dalam memandu kata-katanya sesuai naskah yang disiapkan. Sebab meski sempat ditunjukkan secara langsung bentuk dari “alat canggih” yang bisa dipasang dibalik krah baju atau jaket yang digunakan agar tidak tampak, namun kalau sekedar “Neck Bone-conducted Speaker” tersebut masih belum tersambung dengan AI, atau masih bisa dibimbing orang biasa dengan koneksi bluetooth (wifi) agar kalimat-kalimat presenter (atau peserta debat) tampak “pintar” dalam berkata-kata, padahal dia sebenarnya hanya “dibisikin” alias dipandu dari jauh.
“Karena jika teknologi AI-pun sudah bisa mengambilalih peran pembisik, maka tidak lagi diperlukan wireless receiver. Dalam diskusi juga terungkap bahwa sekarang sudah mulai digunakan AI dalam pembuatan sebuah berita. Sebab cenderung memudahkan editor dalam mengolah sebuah pemberitaan dibandingkan dengan cara-cara manual atau tradisional,” jelas Roy.
Saat ini teknologi AI, diakui Roy, sangat memangkas proses atau mekanisme pemberitaan, bahkan dimungkinkan editor tinggal “mengarahkan” saja berita yang akan dibuat, karena AI bisa “mengisi” redaksi yang harus ditulis tanpa repot-repot lagi menuliskannya. Namun, mulai muncul kesalahan AI yang mencuplik/menyadur data-data salah. Contohnya yang terjadi di Australia dan Amerika baru-baru ini.
“Dimana sampai terjadi “berita” yang dibuat ternyata memang terbukti tidak pernah benar-benar terjadi secara Fakta, alias HoaX. Jadi AI secara otomatis memproduksi hoaks,” ujar mantan menteri Pemuda dan Olahraga ini.
Menurut Roy, hal itu harus segera diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, karena ketertinggalan regulasi tentang AI bisa jadi sangat merugikan untuk masyarakat. Sebagaimana keterlambatan pembuatan UU-ITE (2008), meski sudah 3 kali direvisi malah banyak merugikan masyarakat karena sering salah menerapkannya dan bahkan menjadi “alat penguasa” untuk membungkam pendapat kritis mayarakat.
“Belum lagi kalau AI digunakan secara nir-etika alias tanpa mempergunakan norma yang ada, misalnya kemarin digunakan utk kepentingan politik “menghidupkan kembali” sosok yang sudah wafat untuk kampanye partai dan membuat “suara palsu” yang seolah-olah ketua partai sedang “memarahi” salah satu capres yang ternyata Hoaks,” ujar Roy.
Saat ini, kata Roy mengutip DirJen IKP Usman Kansong, sedang ada pembuatan strategi nasional 2020-2045 tentang AI yang diusulkan BRIN. Dari situ setidakya bisa untuk membuat Keppres khusus mengantisipasi kemajuan AI. Dan (kemungkinan) revisi atas UU yang saat ini belum ada pengaturan soal AI didalamnya, misalnya UU Hak Cipta terkait copyright dan publishing right dengann penggunaan AI. “Intinya memang Negara harus cepat bergerak dan jangan abai karena adanya perkembangan AI yang bisa mengimbas masyarakat ini,” kata Roy.
Roy mengingatkan bahwa AI adalah Keniscayaan yang harus dihadapi sesuai perkembangan teknologi itu sendiri, dimana di era Society 5.0 semuanya terjadi, mulai dari era Robot, IoT (Internet of Thing), hingga AI (Artificial Intelligence). AI akan menjadi hal yang disebut “Frienemy” alias Friend sekaligus “Enemy”, alias Kawan sekaligus Kawan, dimana sisi positif dan negatif akan bisa terjadi secara bersamaan dan sekaligus dialami oleh manusia. (Her)