CERI Desak Kejagung Tidak Batasi Penyidikan Tambang Timah Ilegal Mulai 2015, Ini Alasannya
Editor Indonesia, Jakarta – Ceri desak Kejagung tidak membatasi penyidikan tambang ilegal mulai tahun 2015. Memang publik perlu mengapresiasi kinerja tim Pidana Khusus ( Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) yang saat ini telah menetapkan 16 tersangka terkait kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk untuk tahun 2015 hingga 2022.
Para tersangka terdiri dari beberapa Direksi PT Timah TBK periode 2016-2021 adalah MRPT, EE dan ALW serta beberapa pengusaha pemilik smelter timah yang berada di wilayah kabupaten Bangka Belitung adalah SG, MBG, HT,BY,RI,TN,AA,SP,RA, RL,TT, MH dan HL.
Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman dalam keterangan tertulis kepada awak media, di Jakarta, Minggu (31/3/2024)
Namun disisi lain Yusri menilai kejaksaan masih belum sepenuhnya mengurai serta menelusuri kasus ini lebih dalam lagi.
“Jika pihak Pidsus Kejagung serius menelusuri lebih dalam penerima manfaat dalam kasus korupsi timah dengan menerapkan UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), mungkin bisa jadi puluhan orang bisa menyusul jadi calon tersangka,” ucapnya dengan tegas.
Sebab, sambung Yusri, jika merujuk pernyataan mantan Direktur Utama PT Timah Tbk (2012 – 2016), Sukrisno pada media Detik Finance 22 Juni 2015 bahwa “praktek tambang timah sudah berlangsung puluhan tahun sebelumnya hingga saat ini belum bisa diatasi ketika dia masih menjabat saat itu, belum ada langkah kongkrit yang dilakukan untuk membasmi para penambang liar yang punya backing dan tak tersentuh hukum.
Bahkan menurut Sukrisno saat itu bahwa praktek ilegal tersebut telah pula disampaikan kepada Kementerian ESDM, BUMN, Perdagangan dan Menko Maritim.
“Berdasarkan keterangan mantan Dirut PT Timah dan berita yang berkembang di media serta temuan tim Pidsus Kejagung, maka dapat disimpulkan praktek tambang timah ilegal telah berlangsung jauh sebelum tahun 2015,” beber Yusri.
Kemudian, kata Yusri patut diduga praktek ilegal itu berlangsung sistemik, masif dan terstruktur dalam jangka waktu sekitar 15 tahun lalu dengan melibatkan oknum aparat penegak hukum dan aparat pengawasan dan aparat pemberi izin lintas instansi.
Baca Juga: Kerugian Lingkungan Mencapai Rp271 Triliun Akibat Korupsi IUP PT Timah
Mengingat penambangan ilegal di IUP PT Timah Tbk berada didarat dan laut serta ada yang berada di APL (Areal Penggunaan Lainnya) dan kawasan hutan, maka DLHK Prop Babel, Ditjen Gakum KLHK dan Direkrur Teknik Lingkungan Ditjen Minerba KESDM yang membawahi Inspektur Tambang di daerah perlu dimintakan pertanggungjawabannya.
“Sehingga timbul pertanyaan mengapa Pidsus Kejagung hanya membatasi praktek ilegal tambang di PT Timah Tbk hanya mulai tahun 2015, bukan jauh sebelumnya atau setidak tidaknya mulai tahun 2004, agar tidak menimbulkan prasangka ada upaya melindungi orang tertentu atau tebang pilih,” ujar Yusri.
Jadi, tambah Yusri, nilai kerugian akibat kerusakan lingkungan yang disebutkan penyidik Pidsus berdasarkan perhitungan ahli dari IPB sekitar Rp 271 triliun perlu dipertanyakan. “Apakah akibat praktek ilegal timah sejak tahun 2004 atau sejak tahun 2015, tentu timbul pertanyaan kritis bagaimana cara membedakannya jika hanya dari analisa citra salelit saja,” tutupnya. (RO/Her)