Minimnya informasi resmi soal rekayasa cuaca membuat isu chemtrail terus memicu kecurigaan publik. Artikel ini menyoroti mengapa transparansi negara diperlukan untuk memastikan setiap aktivitas di langit Indonesia benar-benar aman dan dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh: Agung Nugroho*
Pernyataan Komjen (Purn.) Dharma Pongrekun tentang rekayasa langit kembali memicu perdebatan publik mengenai fenomena yang selama ini ditempatkan sebagai “teori konspirasi”: chemtrail. Istilah tersebut memang sering ditolak secara otomatis tanpa penjelasan ilmiah yang memadai. Padahal, jika ditinjau dari aspek tata kelola ruang udara dan praktik modifikasi cuaca, persoalan utamanya bukan pada istilah—melainkan pada minimnya keterbukaan informasi mengenai aktivitas atmosfer yang benar-benar dilakukan negara.
Indonesia telah lama menjalankan berbagai operasi modifikasi cuaca melalui BMKG, BRIN, dan sejumlah lembaga terkait: penyemaian awan, pengalihan curah hujan, hingga mitigasi kebakaran lahan. Ironisnya, publik hampir tidak pernah mendapatkan penjelasan rinci mengenai jenis zat yang dilepas, jalur pesawat, wilayah operasi, maupun dampak ekologis jangka panjangnya. Celah informasi inilah yang membuka ruang bagi kecurigaan dan membuat isu chemtrail berkembang menjadi realitas sosial yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Di tingkat global, teknologi rekayasa atmosfer bukan hal baru. Program seperti Stratospheric Aerosol Injection (SAI) dan Marine Cloud Brightening menunjukkan bahwa pelepasan aerosol dapat memengaruhi pola hujan, kelembapan, hingga dinamika iklim regional. Bagi negara tropis seperti Indonesia—yang sangat sensitif terhadap perubahan atmosfer—setiap aktivitas pelepasan zat ke udara harus berada dalam pengawasan yang ketat, akuntabel, dan transparan.
Karena itu, menutup diskusi chemtrail dengan label “hoaks” justru kontraproduktif. Yang dibutuhkan bukan pembantahan spontan, melainkan audit terbuka dan pengawasan independen terhadap seluruh praktik rekayasa cuaca. Tanpa mekanisme tersebut, masyarakat tidak memiliki alat untuk memastikan apakah operasi itu aman, sesuai standar, atau justru berpotensi menimbulkan risiko ekologis yang belum dipetakan.
Audit terbuka harus menjelaskan bahan yang digunakan, tujuan operasi, instansi yang terlibat, metode pelaksanaan, serta hasil evaluasinya. Transparansi bukan sekadar formalitas administratif, tetapi fondasi kepercayaan publik. Semakin tertutup negara, semakin besar ruang tumbuhnya spekulasi.
Chemtrail menjadi isu bukan karena sensasi, melainkan karena ketiadaan penjelasan resmi yang memadai. Saat data tidak dibuka, pertanyaan publik muncul sebagai konsekuensi logis. Dan ketika pertanyaan itu tidak dijawab, wajar jika muncul kesan adanya sebuah “operasi sunyi” di langit Indonesia—aktivitas yang berjalan tanpa pengawasan publik.
Langit Indonesia bukan hanya ruang udara, tetapi bagian dari kedaulatan dan ruang hidup bangsa. Segala aktivitas di dalamnya harus berada dalam pengetahuan publik. Transparansi adalah bentuk penghormatan negara kepada warganya.
Jika ketidakjelasan terus dipertahankan, spekulasi akan tumbuh semakin liar. Namun bila keterbukaan ditegakkan, publik akhirnya dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi di langit Indonesia.
*)Ketua Umum Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia.









