Opini

Danantara: Ambisi Besar yang Terpasung Kepentingan Politik

×

Danantara: Ambisi Besar yang Terpasung Kepentingan Politik

Sebarkan artikel ini
Danantara: Ambisi Besar yang Terpasung Kepentingan Politik?
Yusri Usman/dok.isti

Oleh: Yusril Usman*

Pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Pengelola Investasi (Danantara) dengan harapan dapat menyaingi lembaga investasi besar seperti Temasek di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia. Namun, alih-alih menjadi badan independen yang lincah dalam mengelola investasi, indikasi yang muncul justru menunjukkan bahwa Danantara telah ‘dibonsai’ oleh kelompok tertentu yang selama ini menguasai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU BUMN, Danantara dirancang menerima pelimpahan sebagian tugas dan kewenangannya dalam mengelola BUMN. Namun, pengawasan atas badan ini tetap berada di bawah kendali Menteri BUMN. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar terkait independensi Danantara dalam pengambilan keputusan investasi yang strategis.

Salah satu poin krusial dalam rancangan regulasi ini adalah kewenangan Menteri BUMN dalam menempatkan perwakilannya di Danantara. Selain itu, setiap Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Danantara harus dikonsultasikan dengan DPR RI, menambah panjang jalur birokrasi yang harus dilewati. Struktur pengambilan keputusan yang demikian tentu berpotensi menghambat fleksibilitas Danantara dalam merespons dinamika pasar global.

Kewenangan Dewan Pengawas yang dipimpin oleh Menteri BUMN juga sangat besar, mencakup persetujuan RKAP, evaluasi kinerja, serta penerimaan dan evaluasi laporan pertanggungjawaban Badan Pelaksana Danantara. Dengan pengaruh sebesar ini, sulit membayangkan bagaimana Danantara bisa bergerak mandiri tanpa intervensi politik dan birokrasi.

Lebih jauh, tugas lembaga besar ini juga dibatasi hanya pada pengelolaan dividen, restrukturisasi BUMN, serta pembentukan holding investasi dan operasional. Sementara itu, keputusan strategis lainnya tetap harus melewati persetujuan berjenjang yang dikendalikan oleh Menteri BUMN dan jajaran kementerian terkait. Dengan kata lain, peran lembaga strategis ini dalam investasi hanya bersifat administratif tanpa kebebasan strategis yang cukup.

Struktur peran dan tugas yang demikian menimbulkan indikasi bahwa Menteri BUMN tidak ingin melepaskan pengaruhnya terhadap BUMN besar yang memiliki aset triliunan rupiah seperti Bank Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom Indonesia, MIND ID, dan Indonesia Investment Authority. Dengan total aset kelolaan yang diperkirakan mencapai Rp9,4 ribu triliun atau sekitar US$600 miliar, tak heran jika ada upaya untuk mempertahankan kendali atas lembaga ini.

Padahal, jika Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara ini  benar-benar ingin sukses dan mampu bersaing dengan sovereign wealth fund global seperti Temasek atau GIC, ia harus diberikan keleluasaan dalam mengambil keputusan investasi tanpa terlalu banyak intervensi politik dan birokrasi. Jika tidak, BPI Danantara hanya akan menjadi institusi besar di atas kertas, tetapi tidak kompetitif di panggung internasional.

Ibarat peribahasa, kepala dilepas, ekor dipegang. Itulah nasib Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) jika tetap dikendalikan oleh kelompok yang selama ini mendominasi BUMN. Presiden Prabowo Subianto menargetkan agar aset Danantara bisa berkembang hingga US$982 miliar, menjadikannya sovereign wealth fund terbesar di dunia. Namun, tanpa otonomi yang cukup, target ini hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Keberhasilan Danantara akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kebebasannya dalam menjalankan strategi investasi tanpa dibebani oleh kepentingan politik dan birokrasi yang berlebihan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi alat baru bagi kelompok lama yang masih menguasai BUMN. (#)

*) Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)