Reza Indragiri Amriel/dok.ei

Debat Ketiga Pilpres, ABW & GP Komplementer Desak PS

Debat ketiga Pilpres 2024, Ahad malam, 7 Januari 2024 menampilkan ajang debat sesungguhnya.

Saya menilai debat capres dengan empat tolok ukur.

Pertama, kesesuaian antara paparan dengan dokumen VMP.

GP mampu mempertontonkan kedahsyatannya karena bab pertahanan pada visi, misi, programnya (VMP) memang lebih canggih ketimbang MVP ABW apalagi MVP PS.

ABW lebih helicopter view dan multiangle. Dia soroti masalah pertahanan dengan kacamata sosial. GP lebih concise, langsung menjawab tema debat. Dia bicara pertahanan dengan kacamata pertahanan.

Tapi GP dan ABW memang komplementer semalam. ABW dominan mendestruksi PS dan menawarkan gagasan secukupnya. GP dominan menawarkan gagasan dan mendestruksi PS dengan kadar secukupnya.

Kedua, seberapa jauh penampilan akan mendatangkan manfaat elektoral.

Studi menyebut, debat tidak terlalu berdampak bagi perpindahan suara. Debat lebih mengokohkan dukungan konstituen pada pihak yang telah dijagokannya sedari awal.

Terlepas dari itu, andai terjadi pergeseran elektoral, tampaknya GP akan memperoleh peralihan suara dari capres lain. Namun, sebagaimana hasil studi tadi, jumlah peningkatan suara yang GP dapatkan tidak signifikan. Dan suara yang beralih ke GP datang dari mereka yang sebelumnya mendukung PS.

Ketiga, siapa yang mampu memantik situasi teatrikal di panggung debat.

Debat presidensial bukan UMPTN atau Sipenmaru. Debat capres mengandung drama. Kontroversi, emosi, uji nyali, semua harus diaktivasi. Debat semalam sudah semakin mengarah ke situ. Ewuh-pakewuh menipis, komunikasi langsung dan terbuka (frontal!) sudah lebih kasat mata. Yang lazim disebut sebagai “adat ketimuran” tak lagi terkecap.

Pada tolok ukur satu ini, penampilan busana GP memang paling atraktif. Jaket pesawat tempur benar-benar mewakili Ganjar dari sisi gestur dan tutur.

Tapi teater yang sesungguhnya tercipta berkat ABW. Kombinasi antara intelektualitas dan brutalitas memperlihatkan sisi lain ABW, yakni betapa lihai dan kejamnya dia memeragakan negative campaign terhadap PS selaku Menhan.

Bedakan negative campaign dengan black campaign.

Ketika PS menyebut data ABW salah semua, PS ingin mengunci persepsi publik bahwa ABW memainkan black campaign. Itu berasosiasi dengan hasutan, kebohongan, fitnah, dan serba-serbi callousness lainnya.

Tapi karena sebatas menyanggah, tanpa menyajikan data tandingan, maka penilaian PS itu menjadi tak beralasan. Apalagi, ketika di-Google, angka-angka dan ilustrasi “ordal” yang ABW lontarkan ternyata dengan mudahnya terkonfirmasi.

Negative campaign alias kampanye yang berfokus pada sisi buruk lawan (namun berbasis data, bukan hoaks) yang ABW demonstrasikan, sangat berkelas. Dengan strategi itu, di debat sesi 3, ABW kian berhasil menunjukkan distinct position-nya bahwa ia oposan, ia perubahan.

GP memang berdiri di tengah-tengah. Tapi siapa pun bisa meramal: andai GP tak lolos ke putaran kedua Pilpres, ke mana gerangan biduk akan dikayuhnya.

Keempat, seberapa jauh narasi yang capres angkat di forum debat akan terus bergulir sebagai konten media sosial dan obrolan warganet.

ABW dan GP berimbang. Tapi substansi dan sudut pandang ABW seolah mendatangkan musim panen raya bagi para content creator dan warganet.

Dunia mengakui betapa buasnya digital natives Indonesia. Semalam, dalam waktu singkat pun masif bermunculan pendatang baru berupa cyber troops pangkat sersan dua. Siapa lagi yang mereka racik di alam maya, kalau bukan PS. Dan ingredients bagi racikan itu utamanya datang dari ABW. Berkat negative campaign-nya, ABW harus “bertanggung jawab” manakala PS menjadi bulan-bulanan para netizen hingga hari-hari ke depan. (*)

Penulis :Reza Indragiri Amriel, pakar psikologi forensik.