Hukum

Dirdik Jampidsus Bungkam, CERI Soroti Kejanggalan Impor Minyak Pertamina

×

Dirdik Jampidsus Bungkam, CERI Soroti Kejanggalan Impor Minyak Pertamina

Sebarkan artikel ini
Dirdik Jampidsus Bungkam, CERI Soroti Kejanggalan Impor Minyak Pertamina
Gedung Kejaksaan Agung RI/dok.mi

Editor Indonesia, Jakarta – Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) kembali menyoroti berbagai kejanggalan dalam tata kelola impor minyak Pertamina. Melalui surat elektronik yang dikirim pada Kamis (6/3/2025), CERI meminta klarifikasi kepada Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) terkait sejumlah pernyataan yang dinilai membingungkan publik.

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, mengungkapkan bahwa pihaknya ingin memastikan kebenaran pernyataan Jampidsus Febri Ardiansyah di kompleks DPR pada Rabu (5/3/2025). Dalam pernyataannya, Febri menyebut bahwa praktik oplosan BBM jenis Pertalite RON 90 dan Pertamax RON 92 hanya terjadi pada periode 2018-2023 dan melibatkan segelintir oknum tanpa keterkaitan dengan kebijakan Pertamina.

“Kami ingin tahu, apakah benar setelah 2023 tidak ada lagi praktik oplosan? Lalu, apakah Kejagung memiliki bukti hukum yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa oplosan hanya terjadi pada periode tersebut?” ujar Yusri, dikutip Sabtu (8/3/2025).

Selain itu, CERI juga mempertanyakan perbedaan istilah antara “oplos” dan “blending” dalam konteks pengelolaan BBM. “Jika berbeda, kami ingin tahu dalam kamus mana perbedaan tersebut dijelaskan,” tambahnya.

Lebih lanjut, CERI juga menyoroti pernyataan Kapuspen Kejagung Harli Siregar pada 27 Februari 2025 yang menyebutkan bahwa dugaan penyimpangan dalam tata kelola minyak mentah dan BBM subholding Pertamina bisa mencapai Rp 1 kuadriliun. Menurut Yusri, angka ini tidak masuk akal dan sulit untuk dibuktikan.

“Bagaimana dasar perhitungan hingga muncul angka fantastis Rp 1 kuadriliun? Total pendapatan Pertamina sepanjang 2024 saja hanya USD 75 miliar atau sekitar Rp 1.237 triliun dengan kurs Rp 16.500. Laba bersih dari 2018-2023 pun hanya USD 16,406 miliar,” tegasnya.

CERI juga mempertanyakan alasan Kejagung lebih memprioritaskan pemeriksaan seorang pembalap terkait kasus ini, dibandingkan dengan meminta keterangan dari mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

“Mengapa tidak segera mengundang Ahok yang sudah menyatakan memiliki bukti risalah rapat Direksi dan Komisaris mengenai dugaan penyimpangan di Pertamina Holding dan Subholding? Ini menjadi pertanyaan besar,” ujar Yusri.

Hingga berita ini ditayangkan pada Sabtu (8/3/2025), Dirdik Jampidsus Kejagung belum memberikan tanggapan atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh CERI. Surat tembusan juga telah dikirimkan kepada Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, Jampidsus, dan Kapuspen Kejagung, namun belum ada respons resmi dari pihak terkait.

Angka Fantastis yang Diragukan

Menanggapi angka kerugian Rp 1 kuadriliun yang disebutkan Kejagung, Yusri menilai perhitungan tersebut sangat jauh dari akal sehat. Ia bahkan meragukan apakah Kejagung bisa membuktikan angka sebesar Rp 193,7 triliun, apalagi Rp 1 kuadriliun.

“Total laba bersih Pertamina dari 2018-2023 saja hanya USD 16,406 miliar. Bagaimana mungkin angka kerugian yang diklaim justru jauh melebihi keuntungan yang tercatat?” tandasnya.

Dengan semakin banyaknya pertanyaan yang belum terjawab, CERI mendesak Kejaksaan Agung untuk bersikap transparan dan segera memberikan penjelasan terkait kejanggalan dalam kasus tata kelola impor minyak Pertamina ini. Publik pun menunggu klarifikasi resmi agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi di masyarakat. (Didi)