Faktor Geopolitik Berpeluang Memicu Volatilitas Pasar di 2024
Editorindonesia, Jakarta – Dipenghujung tahun 2023, sejumlah faktor geopolitik akan memicu vortalitas pasar. Masyarakat global tengah bersiap menghadapi pergantian tahun. Khusus di Indonesia, tahun 2024 akan menjadi tahun politik yang menghadirkan sejumlah tantangan dan peluang yang perlu dicermati dengan bijak.
Tidak hanya di Indonesia, berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Perancis, Italia, Jerman, Spanyol, Taiwan, Mesir, dan sebagainya, juga akan memasuki periode politiknya masing-masing. Pemilihan Umum (Pemilu) memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan dan indikator ekonomi lainnya.
Di sisi lain, dunia juga terus dihadapkan pada berbagai risiko dan ketidakpastian yang merupakan dampak dari kondisi politik dan moneter global.
Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia, Poltak Hotradero, menyoroti faktor geopolitik yang berkemungkinan besar memicu volatilitas pasar.
Merujuk berbagai studi badan internasional, ekonomi global diperkirakan akan melambat pada tahun 2024 terutama akibat imbas perlambatan ekonomi Tiongkok yang diwarnai melemahnya sisi konsumsi, investasi dan perdagangan.
Kendati mampu menghindar dari resesi di tahun 2023, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan melambat di tahun 2024 seiring rezim tingkat bunga tinggi yang saat ini berlaku.
“AS dan Tiongkok berpengaruh besar terhadap perekonomian global. Diperkirakan ekonomi AS hanya akan tumbuh sekitar 1,5 persen, sementara Tiongkok di bawah 5 persen pada 2024. Kombinasi keduanya akan memangkas pertumbuhan ekonomi global 2024 lebih rendah daripada tahun ini,” kata Poltak, pada diskusi media Allianz Indonesia dengan tema “Economy and Investment Outlook 2024: Insurance & Media Industry in Political Year”, akhir pekan lalu (14/12).
Meskipun ekonomi AS dan Tiongkok mengalami perlambatan, menurut Poltak, perekonomian di wilayah Asia justru diproyeksikan menguat.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi India dan sejumlah negara ASEAN pun menunjukkan kecenderungan yang positif, dengan pertumbuhan ekonomi India yang diprediksi menjadi yang tertinggi di antara negara-negara G20.
Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2024. Meski kondisi saat ini masih penuh ketidakpastian, perekonomian Indonesia tetap stabil.
Hal ini tercermin dari tingkat inflasi yang diperkirakan dapat terjaga pada kisaran 2,3%-2,4%, serta pertumbuhan ekonomi yang secara konsisten berada di atas 5%.
Potensi ekonomi karbon Indonesia juga menjadi salah satu penyangga perekonomian. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 sampai dengan 41 persen pada 2030.
Bila dikelola baik, potensi pendapatan yang dihasilkan dari kebijakan ini mencapai Rp8.000 triliun dengan 113,18 gigaton total penyerapan emisi karbon.
Menurutnya, Indonesia perlu mempertahankan optimisme menyambut 2024. Meski ada beberapa risiko dari sisi domestik maupun eksternal dari pelaksanaan Pemilu, namun dari tren beberapa kali pelaksanaannya di Indonesia, Pemilu tetap berdampak positif bagi perekonomian.
“Maka penting bagi regulator untuk menjaga stabilitas kebijakan ekonomi dan perdagangan, tingkat harga, dan nilai tukar tetap terjaga guna mendukung pertumbuhan ekonomi,” kata Poltak.
Pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi dibarengi pertumbuhan PDB per kapita akibat inflasi yang terjaga akan menciptakan permintaan yang lebih tinggi atas jasa asuransi.
Secara umum pasar asuransi Indonesia memiliki ruang tumbuh yang sangat tinggi didorong pertumbuhan ekonomi dan sektor keuangan.
Merujuk ASEAN Insurance Surveillance Report 2022, penetrasi asuransi Indonesia saat ini berada di sekitar 1,4% PDB, lebih rendah daripada Vietnam dan Filipina yang telah di atas 2%, ataupun Malaysia dan Thailand yang berada pada 3,8% dan 4,6%.
“Hanya dengan menyamai penetrasi Malaysia atau Thailand, bisnis asuransi Indonesia berpotensi berlipat tiga dari posisi saat ini,” kata Chief Investment Officer, Allianz Life Indonesia, Ni Made Daryanti.
Dinamika Asuransi di 2024
Ni Made mengatakan meski industri asuransi berpotensi terkena dampak dari kemungkinan perubahan situasi kondisi ekonomi global dan tahun politik, namun imbasnya tidak signifikan. Sebab kebutuhan masyarakat akan solusi perlindungan asuransi akan tetap ada.
Kondisi yang saat ini dihadapi industri asuransi di Indonesia dan membutuhan kolaborasi dari berbagai pihak adalah tingkat literasi dan penetrasi asuransi yang masih rendah.
Berdasarkan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027 OJK, tingkat penetrasi asuransi di Indonesia pada tahun 2022 berada pada level 2,27 persen, masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan beberapa peer countries di ASEAN.
Sedangkan berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan/SNLIK tahun 2022 OJK, tingkat literasi pada sektor perasuransian berada pada level 31,7 persen, namun tingkat inklusinya pada level 16,6 persen. Sehingga masih ada gap antara tingkat literasi asuransi dengan inklusi asuransi.
Allianz berkomitmen untuk terus meningkatkan literasi finansial dan penetrasi asuransi melalui berbagai inisiatif yang digelar. Hingga November 2023, Allianz telah menggelar 613 acara literasi keuangan dan menjangkau lebih dari 635 ribu penerima manfaat.
“Kami juga terus menyediakan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan proteksi asuransi yang sesuai kebutuhan. Hal ini sesuai dengan komitmen Allianz untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan literasi dan penetrasi asuransi,” kata Ni Made. (Her)
Baca Juga: Indonesia Ajak Partisipasi ASEAN-US Majukan Ekonomi Digital