Ratusan pekerja sedang membuat rokok/dok.Antara

GAPPRI Prihatin Industri Tembakau Banyak Aturannya Seolah Produksi Narkoba

Editor Indonesia, Jakarta – GAPPRI  (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia) mengungkapkan keprihatinannya karena industri tembakau banyak aturannya, seolah-olah memproduksi narkoba.

Hal itu disampaikan Ketua GAPPRI Henry Najoan terkait peraturan yang akan mengatur desain dan kemasan rokok dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) maupun PP 28/2024, di Jakarta, Jumat (20/9/2024).

Henry menjelaskan bahwa industri kretek telah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional, mulai dari petani tembakau hingga pengecer.

“Tapi situasi industri semakin sulit sejak kenaikan tarif cukai dari 2020 hingga 2024, yang ditambah dengan dampak pandemi yang melemahkan daya beli konsumen,” jelas dia.

Menurut Henry, industri tembakau diatur oleh banyak regulasi, baik fiskal maupun nonfiskal, yang mengakibatkan pungutan negara mencapai 76% per batang rokok. “Industri ini diperlakukan seolah-olah seperti produsen narkotika. Ada ketidakadilan dalam penerapan kebijakan baru yang diinisiasi Kemenkes,” ucapnya.

“PP 28/2024, yang mengatur desain dan tulisan pada kemasan rokok terlalu ketat dan merugikan. RPMK yang muncul mendadak ini sangat represif, dengan desain seragam yang menggunakan warna-warna yang tidak menarik,” tambah dia.

Henry Najoan mempertanyakan apakah kebijakan ini tidak bertentangan dengan aturan lain yang ada, serta menyebut bahwa banyak ketentuan dalam RPMK yang tidak tepat dan mengancam keberlangsungan industri.

Ia juga menyoroti beberapa pasal yang melarang penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari sekolah serta pembatasan iklan, yang dinilai sebagai upaya menciptakan stigma negatif terhadap industri kretek. “Ekosistem industri ini melibatkan sekitar 5,9 juta jiwa, dan cukai hasil tembakau menyumbang 10 persen dari total APBN,” jelasnya.

Henry Najoan merujuk pada PP 109/2012 sebagai aturan untuk industri tembakau yang berlaku sebelumnya. Aturan ini dirumuskan dalam waktu tiga tahun, berbanding terbalik dengan PP 28 yang disusun dalam hitungan minggu tanpa adanya penghitungan implementasi yang jelas.

Ia berharap agar PP 28/2024 dan RPMK dapat ditinjau ulang dengan melibatkan semua pemangku kebijakan (stakeholder) agar kebijakan yang dihasilkan lebih adil dan berkelanjutan bagi industri dan masyarakat. (Didi)

Baca Juga: Jokowi Larang Jual Rokok secara Eceran Demi Kesehatan Generasi Muda