Editor Indonesi, Jakarta – Kemenangan hukum tidak selalu berarti kemenangan nyata, apalagi jika tidak ada uang yang benar-benar kembali ke kas negara. Inilah yang kini membayangi kemenangan PT Pertamina International Marketing & Distribution Pte Ltd (PIMD) atas Phoenix Petroleum Philippines Inc dan Udenna Corporation dalam proses arbitrase internasional.
PIMD—anak usaha PT Pertamina Patra Niaga—telah memenangkan gugatan senilai lebih dari 142 juta dolar AS terhadap dua entitas asal Filipina tersebut melalui putusan Singapore International Arbitration Center (SIAC) yang dijatuhkan pada 30 November 2023. Namun hingga pertengahan 2025, satu sen pun belum dibayarkan oleh pihak Phoenix maupun Udenna.
Kondisi ini memunculkan kritik tajam dari Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, yang menyebut kemenangan PIMD sebagai kemenangan semu. “Menang di atas kertas, tapi uangnya tetap tidak kembali. Ini justru jadi kerugian negara karena sudah keluar biaya besar untuk pengacara, tapi tidak ada hasil riil,” ujar Uchok kepada awak media, Sabtu (12/7/2025).
Uchok bahkan menuding proses arbitrase ini berpotensi menjadi siasat untuk menutupi dugaan tindak pidana korupsi dalam transaksi penjualan gas oil ke Phoenix yang sejak awal tidak dibayar. Atas dasar itu, CBA meminta Kejaksaan Agung turun tangan dan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
“Sudah saatnya Kejagung memanggil dan memeriksa mantan Managing Director PIMD Singapura, Agus Wicaksono, untuk menjelaskan ke publik: kapan uang 142 juta dolar AS itu akan benar-benar masuk ke kas Pertamina?” tegas Uchok.
Antara Diplomasi Bisnis dan Kepastian Hukum
Kasus ini menggambarkan dilema antara kemenangan legal dan realitas bisnis internasional. Secara hukum, putusan arbitrase bersifat mengikat, namun penegakannya bergantung pada yurisdiksi tempat aset atau aktivitas pihak yang kalah berada.
Jika Phoenix dan Udenna mengabaikan kewajiban membayar, maka PIMD—dan Indonesia—harus menempuh langkah hukum tambahan, seperti penegakan putusan melalui pengadilan setempat di Filipina atau menyasar aset mereka di negara ketiga. Upaya ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan hasilnya belum tentu pasti.
Di sisi lain, publik berhak mempertanyakan mengapa transaksi besar semacam ini tidak memiliki mekanisme jaminan atau pengamanan pembayaran yang lebih kuat sejak awal. Apalagi, transaksi melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dana dan reputasinya menyangkut kepentingan publik.
Jika akhirnya uang itu tak pernah masuk, maka bukan hanya menjadi beban keuangan PIMD—melainkan juga dapat merusak kredibilitas BUMN Indonesia di mata mitra global. (Har)












