Editor Indonesia, Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya memacu pelaku industri kecil menengah (IKM) di sektor furnitur untuk memperluas jangkauan pasar hingga ke negara-negara Timur Tengah. Langkah ini diwujudkan melalui berbagai fasilitasi, mulai dari pameran, pendampingan, hingga pertemuan bisnis (business matching).
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita, menyampaikan optimismenya terkait potensi pengembangan pasar industri furnitur nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor industri furnitur dengan kode HS 9401, 9402, dan 9403 mencatatkan kinerja positif pada periode Januari hingga Desember 2024, mencapai 1,91 miliar dolar AS atau setara dengan Rp31,3 triliun (dengan kurs Rp16.411). Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 3,24 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2023 yang tercatat sebesar 1,85 miliar dolar AS atau Rp30,36 triliun.
“Kendati demikian, kita harus terus mempersiapkan para pelaku industri furnitur dalam negeri agar tidak hanya mampu menguasai pasar domestik, tetapi juga berdaya saing dengan produk-produk dari mancanegara,” ucap Reni dengan tegas di Jakarta, Senin (5/5/2025).
Selain memberikan akses ke pasar internasional melalui berbagai program fasilitasi pameran, pendampingan, dan business matching, Kemenperin juga aktif menyelenggarakan kegiatan edukasi. Salah satunya adalah Talkshow Global Furniture Market 2025 dengan tema “Strategic Issues and New Market Potential, Middle East Edition” yang diselenggarakan secara daring pada 29 April lalu. Talkshow ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk furnitur Indonesia di kancah global.
Direktur Industri Kecil dan Menengah Pangan, Furnitur, dan Bahan Bangunan, Bayu Fajar Nugroho, menekankan pentingnya diversifikasi pasar sebagai strategi untuk memperkuat ketahanan industri nasional. Menurutnya, kawasan Timur Tengah memiliki permintaan yang signifikan terhadap produk furnitur.
“Industri furnitur nasional memiliki potensi besar, didukung oleh keunggulan sumber bahan baku yang khas dan melimpah, serta identitas desain dan teknik produksi yang unik. Namun, kita masih menghadapi tantangan berupa ketergantungan pada pasar yang sudah ada. Oleh karena itu, penetrasi ke pasar non-tradisional seperti Timur Tengah menjadi krusial dan perlu digarap lebih serius,” jelas Bayu.
Lebih lanjut, Bayu mengungkapkan data dari trademark.org tahun 2024 yang menunjukkan bahwa negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) mencatatkan nilai impor produk furnitur (HS 9401, 9403) sebesar 4,71 miliar dolar AS atau sekitar Rp77,3 triliun. Dari angka tersebut, pangsa pasar produk furnitur Indonesia baru mencapai 0,61 persen atau senilai 29,1 juta dolar AS atau Rp477 miliar.
“Kita harus melihat situasi ini bukan hanya sebagai tantangan, tetapi juga sebagai peluang besar. Kawasan Timur Tengah menawarkan potensi pasar yang terus berkembang dengan preferensi konsumen yang dinamis. Industri kita harus siap bersaing dalam hal kualitas produk, desain, standardisasi, sertifikasi, serta kemampuan dan kapasitas ekspor,” pungkas Bayu. (Didi)