Editor Indonesia, Jakarta – Neosufisme merupakan pendalaman aspek spiritual yang terkoneksi dengan aktivitas sosial. Hal ini sebagai upaya memahami sufisme yang lebih rasional dan masuk akal.
Demikian yang terungkap dalam diskusi Tasawuf dan Spiritualitas Islam dalam konteks modern di Gedung Sevilla Universitas Paramadina, Cipayung Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024.
Dari daftar hadir tercatat sekitar 130 orang mengikuti diskusi tersebut yang menghadirkan sejumlah narasumber kompeten, yakni; M. Wahyuni Nafis, MA, Dosen Universitas Paramadina yang juga Ketua Nurcholish Madjid Society (NCMS) dan M. Nur Jabir, MA, Direktur Rumi Institute. Diskudi ini dimoderatori oleh Dr. Mohammad Subhi, M.Hum (Dosen Universitas Paramadina, Direktur Paramadina Graduate School of Ismaic Studies (PGSI).
Perihal Neosufisme diungkapkan oleh M. Wahyuni Nafis, MA, yang menyampaikan refleksi dari pemikiran Cak Nur (Nurcholish Madjid), pendiri Universitas Paramadina, mengenai konsep zuhud. Zuhud berarti tidak terikat pada hal-hal duniawi dan lebih memikirkan kehidupan akhirat.
“Neosufisme adalah pendalaman aspek spiritual yang terkoneksi dengan aktivitas sosial. Walaupun Neosufisme terhubung dengan soal-soal sosial, tetap harus melakukan satu upaya pemahaman yang lebih rasional dan masuk akal,” ujar Wahyuni Nafis.
Acara dimulai dengan penampilan tarian rumi atau sufi, dengan kostum kostum khas berupa baju jubah berukuran besar dengan bagian bawah seperti rok yang melebar dan menggunakan topi memanjang yang dikenal sebagai sikke. Di Timur Tengah, sikke dikenal sebagai perlambang batu nisan wali dan sufi.
Berputar ke arah berlawanan dengan jarum jam seperti tawaf ini memiliki makna sangat dalam, sebagai ekspresi terhadap pencapaian kecintaan kepada Allah SWT.
Gerakan berputar-putar yang dilakukan Rumi rupanya bukan cuma suatu gerakan yang tanpa makna. Makna yang bisa dipetik bahwa gerakan berputar-putar itu adalah simbol untuk menemukan tujuan hidup yang hakiki.
Dalam pemaknaan yang lebih khusus lagi, tarian dengan gerakan berputar melawan arah jarum jam ini adalah sebuah proses mencari Tuhan.
Tarian ini, terinspirasi dari ajaran Maulana Jalaluddin Rumi, seorang penyair dan filsuf asal Turki, mencerminkan nilai-nilai religius dan spiritual yang mendalam. Penampilan tersebut mengawali suasana diskusi yang khidmat namun tetap interaktif. Setelah itu, pembacaan puisi oleh Gayatri Wedotami Muthari menambah nuansa artistik dalam acara ini.
Sementara itu, M. Nur Jabir, MA, menyampaikan dua definisi utama tasawuf. Pertama, tasawuf adalah keadaan di mana hati melayani Tuhan, namun tubuh tetap melayani makhluk.
Kedua, tasawuf melampaui realitas duniawi seperti bahagia dan derita, menuju pemahaman mendalam tentang diri. “Tasawuf juga menciptakan keindahan melalui syair dan tarian, serta menjadi bentuk pelarian bagi mereka yang mencari makna cinta dalam agama,” tambahnya.
Dr. Mohammad Subhi, M.Hum, menutup diskusi dengan menyoroti peran penting dunia sufisme dalam peradaban Islam. “Banyak hal yang bisa kita dapat dari dunia sufisme, dan itu adalah salah satu warna dari peradaban Islam yang menjadi penghubung ke dunia rohani,” tegasnya.
Acara ini tidak hanya berhasil menghadirkan diskusi intelektual yang berbobot, tetapi juga memberikan pengalaman batin yang menyentuh melalui seni dan budaya. Universitas Paramadina kembali menunjukkan komitmennya untuk menjadi ruang dialog yang menghubungkan pemikiran keislaman dengan konteks sosial dan budaya modern.
Salah satu momen yang tak kalah penting dalam acara ini, soft launching buku berjudul “Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi WM. Penyerahan simbolis buku dilakukan oleh M. Nur Jabir, MA, kepada Rektor Universitas Paramadina yang diwakili oleh Fatchiah Kertamuda (Wakil Rektor Universitas Paramadina), Gayatri Wedotami Muthari (perwakilan keluarga Abdul Hadi WM), M. Wahyuni Nafis, MA, dan Dr. Mohammad Subhi, M.Hum. Buku ini diharapkan menjadi sumbangan berarti dalam literatur Islam modern. (Tim)