Tulisan ini semula hanya beredar di grup WhatsApp. Namun karena isinya bernas dan penuh renungan kritis, rasanya sayang bila tidak diketahui lebih banyak orang. Atas izin penulisnya kami hadirkan di editorindonesia.com
Imajinasi Ulang Indonesia Baru, oleh GWS
Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang ibu rumah tangga di Jakarta yang sedang scrolling TikTok sambil menyeduh kopi sachet di pagi hari. Tiba-tiba mata Anda tertambat pada sebuah video selebgram yang memamerkan skincare Korea dengan harga “gila-gilaan”—cuma 50 ribu untuk serum yang katanya seharga 500 ribu di counter resmi. Jari Anda refleks mengetuk layar, masuk ke bio, dan dalam hitungan menit, transaksi pun terjadi. Simple. Mudah. Murah meriah.
Yang tidak Anda sadari adalah bahwa Anda baru saja menjadi bagian dari ekosistem ekonomi bawah tanah yang merugikan negara hingga Rp 115,65 triliun—setara dengan alokasi dana pemerintah untuk pendidikan nasional selama setahun penuh. Anda, dengan niat baik menghemat budget keluarga, tanpa sadar telah menjadi pemeran pendukung dalam drama penyelundupan terbesar abad ini.
Ketika “Murah” Menjadi Mantra Magis
Indonesia hari ini seperti Pak Belalang yang terpesona dengan cermin ajaib. Setiap kali melihat barang dengan label “impor” dan harga yang “bersahabat”, mata kita langsung berbinar. Tidak peduli apakah itu smartphone tanpa IMEI yang dijual di gang sempit Mangga Dua, atau kosmetik “Korea asli” yang dijajakan influencer dengan followers jutaan di Instagram. Yang penting murah, yang penting “impor”, yang penting kelihatan keren di depan tetangga.
Seperti pepatah Jawa mengatakan: “Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo rumangsa bisa” (jangan terpukau, jangan kaget, jangan merasa bisa). Tapi kita? Kita justru gumunan dengan semua yang berbau luar negeri, kagetan dengan harga yang terlalu indah untuk jadi kenyataan, dan rumangsa bisa mendapat barang berkualitas dengan modal recehan.
Sementara kita sibuk berburu diskon di marketplace, para importir gelap bersorak gembira. Mereka telah berhasil mengubah konsumen Indonesia menjadi pasukan zombie yang haus barang murah tanpa bertanya: kenapa bisa semurah itu? Dari mana asalnya? Aman tidak? Legal tidak?
Anatomy of Deception: Ketika Teknologi Jadi Kaki Tangan
Jika dahulu penyelundupan identik dengan kapal malam yang bersandar diam-diam di pelabuhan gelap, kini arena bermainnya telah berubah total. Media sosial—TikTok, Instagram, Facebook, bahkan WhatsApp grup—telah menjadi pasar gelap digital yang beroperasi 24/7 tanpa libur lebaran sekalipun.
Para pelaku penyelundupan modern ini cerdik seperti Pak Belalang yang selalu punya seribu akal. Mereka menggunakan teknik under-invoicing (mencantumkan harga palsu), salah klasifikasi barang (menyamar sebagai produk lain), hingga splitting atau membagi satu kontainer besar jadi puluhan kiriman kecil. Seperti membagi nasi gudeg jadi nasi kucing—porsi kecil-kecil tapi kalau dijumlah tetap satu kuali penuh.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah fenomena jasa titip atau jastip. Para pelaku membuka bungkusan barang baru agar terlihat seperti bekas pakai pribadi, memanfaatkan celah regulasi yang membedakan barang komersial dan barang pribadi. Kita menyebutnya “pintar”, mereka menyebutnya “inovasi bisnis”. Ironis.
Tekstil vs Teknologi: Duel Mematikan di Pasar Lokal
Dari data yang ada, sektor tekstil menjadi korban paling parah dengan kerugian mencapai Rp 62 triliun per tahun. Bayangkan: angka itu setara dengan membangun 310 jembatan Suramadu atau 1.240 jembatan Ampera. Tapi yang kita dapat bukannya infrastruktur megah, melainkan 60 ribu tenaga kerja yang kehilangan mata pencaharian.
Kasus kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) bukan sekadar berita ekonomi biasa—itu adalah simbol runtuhnya salah satu pilar industri nasional. Perusahaan yang pernah menjadi kebanggaan Solo ini tumbang bukan karena kalah bersaing secara fair, melainkan karena dibantai oleh serbuan tekstil impor ilegal yang dijual dengan harga dumping.
Sementara itu, di sektor elektronik, kita disajikan tontonan yang tak kalah memilukan. 5.100 unit smartphone ilegal senilai Rp 17,6 miliar berhasil disita di Jakarta Barat. Ini belum termasuk yang lolos dan beredar bebas di marketplace dengan rating bintang lima palsu dan review bot yang diprogramkhusus untuk menipu.
Perbandingannya dengan negara tetangga sangat kontras. Jepang dengan tegas menerapkan sistem pelacakan produk digital yang ketat. Korea Selatan menghukum berat setiap pelanggaran standar produk. Sedangkan kita? Kita masih sibuk berdebat apakah barang ilegal itu “rezeki” atau “musibah”.
Kosmetik Berbahaya: Cantik Sesaat, Penyakit Selamanya
Kalau tekstil dan elektronik masih soal ekonomi, kosmetik ilegal sudah masuk ranah life and death. 69 merek kosmetik impor ilegal yang disita BPOM mengandung merkuri dan rhodamin B—bahan yang sama dengan yang digunakan untuk mewarnai tekstil. Bayangkan: wajah Anda diperlakukan seperti kain yang akan dijahit jadi baju.
Fenomena beauty influencer yang mempromosikan produk tanpa izin edar semakin memperparah situasi. Mereka seperti dukun cabul yang menjual “ramuan kecantikan” dengan embel-embel “Korea asli” atau “Jepang original”. Yang mereka jual bukan hanya produk, tapi juga mimpi untuk cantik instant—padahal yang didapat justru nightmare berkepanjangan.
Kasus Via Vallen yang tersandung promosi kosmetik oplosan DSC menjadi bukti nyata bagaimana influencer marketing telah berevolusi menjadi ajang penipuan massal berkedok endorsement. Mereka meraup ratusan juta rupiah dari menjual kebohongan, sementara followers yang percaya berakhir dengan wajah rusak dan dompet kosong.
Mainan Anak: Ketika Masa Depan Bangsa Jadi Tumbal
Yang paling menyayat hati adalah kategori mainan anak. 176.868 buah mainan anak tanpa SNI senilai Rp 1,5 miliar berhasil dimusnahkan. Mainan-mainan ini mengandung ftalat dan logam berat yang dapat merusak sistem endokrin dan motorik anak. Dalam bahasa sederhana: kita sedang meracuni generasi penerus bangsa demi mainan murah buatan negara yang bahkan tidak peduli dengan keselamatan anak mereka sendiri.
Sebagai perbandingan, di negara-negara Skandinavia, setiap mainan harus melewati 47 tes keamanan berbeda sebelum boleh dijual. Di Jerman, standar keamanan mainan bahkan lebih ketat daripada standar keamanan makanan. Sementara di Indonesia? Yang penting murah, yang penting banyak warna, yang penting anak senang hari ini—besok sakit ya urusan besok.
Platform Digital: Arena Gladiator Tanpa Wasit
E-commerce dan media sosial telah berubah menjadi colosseum modern tempat produk legal dan ilegal bertarung tanpa aturan yang jelas. Algoritma platform cenderung memihak pada produk dengan engagement tinggi—dan sayangnya, produk murah (baca: ilegal) selalu menarik perhatian lebih banyak dibanding produk legal yang harganya wajar.
TikTok Shop, dengan sistem live streaming-nya, menjadi panggung teater yang sempurna untuk drama penjualan barang ilegal. Host dengan acting seolah-olah produk akan habis dalam hitungan detik, countdown timer palsu, dan testimoni fake yang dibacakan dengan penuh penghayatan. Shakespeare akan bangga melihat kemampuan akting para penjual barang ilegal ini.
Shopee, Tokopedia, dan platform lainnya memang berusaha melakukan moderasi konten. Tapi seperti main kejar-kejaran dengan hantu: begitu satu akun dihapus, sepuluh akun baru bermunculan dengan nama dan identitas berbeda. Para pelaku seperti virus yang terus bermutasi, selalu selangkah lebih cepat dari sistem keamanan platform.
Government Response: David vs Goliath di Era Digital
Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Pengawasan Barang Impor Ilegal melalui Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 932 Tahun 2024. Dalam periode Juli-Oktober 2024, Satgas berhasil memberantas barang ilegal senilai Rp 212,88 miliar. Angka yang fantastis, namun jika dibandingkan dengan kerugian total Rp 115,65 triliun, ini seperti menangkap ikan paus dengan kail pancing.
Direktorat Jenderal Bea Cukai melakukan 14.657 penindakan terhadap barang ilegal sepanjang Januari-Juli 2025. Impressive, tapi ini seperti bermain whack-a-mole di pasar malam: satu lubang ditutup, sepuluh lubang baru terbuka di tempat lain.
Masalahnya bukan pada niat atau kemampuan aparat. Masalahnya adalah kita sedang berperang melawan hydra digital yang kepalanya akan tumbuh kembali setiap kali dipotong. Sementara regulasi dibuat dengan mindset era analog, para penyelundup sudah beroperasi dengan teknologi artificial intelligence dan cryptocurrency.
Indonesia vs Dunia: Ketika Kita Jadi Bulan-bulanan
Mari kita bandingkan dengan negara-negara yang berhasil mengatasi masalah serupa. Singapura menggunakan sistem blockchain untuk melacak setiap produk impor dari sumber hingga konsumen akhir. Korea Selatan menerapkan AI untuk deteksi otomatis produk palsu di platform digital. Jepang memiliki database terintegrasi yang memungkinkan konsumen memverifikasi keaslian produk hanya dengan scan QR code.
Sementara itu, Indonesia masih bergantung pada sistem manual yang mudah diakali. Seperti pepatah Sunda: “Hayang nyieun imah, tapi teu nyiapkeun pondasi” (ingin membangun rumah, tapi tidak menyiapkan fondasi). Kita punya visi industri 4.0, tapi sistemnya masih era industri 1.0.
Yang lebih ironis lagi, negara-negara yang produknya diselundupkan ke Indonesia justru ketat dalam melindungi pasar domestik mereka. China melarang platform asing mendominasi e-commerce lokal. Korea Selatan membatasi konten digital asing. Jepang memproteksi industri elektronik domestiknya dengan ketat. Mereka melindungi produk sendiri sambil membanjiri pasar kita dengan barang ilegal.
The Real Cost: Lebih dari Sekadar Angka
Kerugian Rp 115,65 triliun bukan hanya soal uang yang hilang dari kas negara. Itu adalah:
- 60 ribu keluarga yang kehilangan sumber penghasilan di sektor tekstil
- Jutaan anak yang terpapar mainan beracun tanpa sadar
- Ribuan perempuan yang wajahnya rusak karena kosmetik berbahaya
- Ratusan ribu konsumen yang tertipu produk elektronik palsu
- Puluhan industri lokal yang bangkrut karena persaingan tidak sehat
Ini adalah human cost yang tidak bisa diukur dengan rupiah. Ini adalah social cost yang akan kita bayar selama puluhan tahun ke depan. Ini adalah opportunity cost dari Indonesia yang gagal menjadi negara industri maju karena pasar domestiknya dijadikan tempat pembuangan sampah industri dunia.
Solusi: Keluar dari Lingkaran Setan
Pertama, kita butuh revolusi digital dalam sistem pengawasan. Blockchain untuk tracking, AI untuk detection, machine learning untuk pattern recognition. Kalau para penyelundup bisa pakai teknologi canggih, kenapa aparat tidak?
Kedua, edukasi konsumen secara masif. Kampanye “Bangga Buatan Indonesia” bukan cuma soal nasionalisme murahan, tapi juga soal melindungi diri sendiri dari produk berbahaya. Konsumen yang cerdas adalah benteng pertahanan terbaik melawan serbuan barang ilegal.
Ketiga, kerjasama dengan platform digital. Alih-alih bermain petak umpet, pemerintah harus duduk bersama platform e-commerce untuk menciptakan sistem deteksi otomatis produk ilegal. Algoritma yang selama ini dipakai untuk targeting iklan bisa dimodifikasi untuk mendeteksi pola penjualan mencurigakan.
Keempat, insentif untuk industri lokal. Bukan proteksionisme buta, tapi dukungan riil berupa tax holiday, kemudahan perizinan, dan akses permodalan untuk industri yang bersedia meningkatkan kualitas dan inovasi.
Penutup: Antara Mimpi dan Kenyataan
Kita berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ada jalan menuju kedaulatan ekonomi digital yang aman dan berkelanjutan. Di sisi lain, ada jurang kehancuran industri lokal yang semakin dalam.
Pilihan ada di tangan kita semua. Setiap kali Anda scroll media sosial dan melihat produk “impor murah”, tanyakan pada diri sendiri: apakah saya mau jadi bagian dari solusi atau bagian dari masalah? Apakah kesenangan sesaat membeli barang murah sebanding dengan kehancuran jangka panjang yang ditimbulkannya?
Kita sudah tahu ada masalah besar di hulu—penyelundupan massal yang merugikan negara triliunan rupiah. Kita sudah tahu ada dampak di hilir—PHK massal dan bangkrutnya industri lokal. Yang belum kita tahu adalah: kapan kita akan benar-benar hidup sebagai bangsa yang berdaulat atas ekonominya sendiri?
Pertanyaannya sekarang: sanggupkah kita menatap cermin dan mengakui bahwa setiap pembelian barang ilegal adalah vote untuk masa depan Indonesia yang lebih suram? Ataukah kita akan terus menikmati sensasi belanja murah sambil tutup mata terhadap kehancuran yang kita dukung?
Pilihan ada di ujung jari Anda—setiap kali finger hovering di atas tombol “Add to Cart“.







