Editorindonesia, Semarang- Pembangunan jalan tol Semarang-Demak dan Giant Sea Wall (tanggul laut) Semarang, Jawa Tengah diperkirakan akan merusak puluhan hektare hutan mangrove yang ada di kawasan Pantura tersebut, bahkan juga ratusan species mangrove juga akan hilang.
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, dampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak merusak hutan mangrove seluas 42,7 Ha. Hutan mangrove terdampak langsung dari pembangunan seluas 14,1 ha, dan dampak tidak langsung seluas 28,5 ha.
Ancaman lain ialah pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa oleh pemerintah pusat di Pantai Utara (Pantura) Jawa. Tanggul raksasa itu untuk menyelamatkan wilayah itu dari penurunan muka tanah dan ancaman air laut.
Pemerintah berharap pembangunan tanggul laut bersamaan dengan proyek pembangunan tol Semarang Demak dapat mengatasi berfungsi permasalahan banjir dan rob dengan cara membendung air.
Proyek jalan tol sepanjang 10,64 kilometer ini masih berjalan. Dampak pembangunannya, kini mulai dirasakan oleh masyarakat pesisir. Proyek tersebut juga bakal menghilangkan hutan mangrove sebagai tanggul laut alami yang ada dipesisir Semarang.
Dalam upaya meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dari pembangunan tol Semarang-Demak, Kementerian PUPR bekerja sama dengan Pemerintah Daerah menyiapkan program relokasi lahan mangrove yang berada di sekitar pembangunan Seksi 1 Tol Semarang – Demak ruas Semarang-Sayung.
“Prinsip-prinsip pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan menjadi komitmen Kementerian PUPR mulai dari tahap survei, investigasi, desain, pembebasan tanah (land acquisition), konstruksi, hingga operasi dan pemeliharaan (Sidlacom),” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Indonesia sebagai negara dengan ekosistem mangrove terluas di dunia yakni dengan 3,36 juta hektare dan memiliki lebih dari 100 spesies mangrove di dalamnya, karena ada beberapa fungsi jasa lingkungan mangrove dimana mangrove merupakan habitat tempat berlindung/berkembang biaknya berbagai jenis fauna dan biota laut.
Sistem akar pohon mangrove yang kokoh nantinya semakin membantu membentuk penghalang alami terhadap gelombang badai dan banjir. Sedimen sungai dan darat terperangkap oleh akar, yang melindungi daerah garis pantai dan memperlambat terjadinya erosi.
Selain itu mangrove juga memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon empat kali lebih tinggi dibandingkan ekosistem daratan. Hal itu menjadikan mangrove sebagai harta karun dalam aksi pengendalian perubahan iklim.
Seorang nelayan di pesisir Semarang Agus Isnaini (44) selama 20 tahun bersama masyarakat terus bergerak aktif melakukan penanaman dan kembangkan hutan mangrove di daerah Genuk, Semarang mengaku sedih akibat pembabatan tanaman mangrove demi proyek pembangunan tol Semarang-Demak.
“Ya ibarat sudah seperti anak sendiri, hutan mangrove ini dirawat dari bibit kecil hingga sekarang tumbuh besar. Sayang, sebentar lagi mau ditebangi,” ujar Agus Isnaini.
Pembabatan hutan mangrove di proyek tol Semarang-Demak adalah bagian dari contoh inkonsistensi pemerintah dalam gembar-gembor melakukan konservasi mangrove. “Semisal hutan mangrove ini hilang sumber nafkah kami juga hilang, tetapi misal tidak ikhlas atau melawan nanti berbenturan dengan pemerintah,” imbuhnya.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung, Mila Karmilah, mengatakan pembuatan Tol Tanggul Laut Semarang Demak tak bisa menjadi solusi tunggal untuk menyelesaikan abrasi dan banjir rob di Semarang dan Demak, penyebab abrasi dan banjir rob dapat dilihat pada sejarah alih fungsi lahan di pesisir Demak.
Perubahan ini dimulai sejak tahun 1970-an. lanjut Mila, kemudian memasuki tahun 1980-an abrasi dan banjir rob mulai mengkhawatirkan. Hal ini juga sebai dampak dari beberapa pembangunan di Kota Semarang di Pantai Marina, pembangunan Pusat Rekreasi & Promosi Pembangunan di Tawangsari, dan pengembangan pelabuhan Tanjung Mas. Akibatnya, gelombang laut bergeser ke arah Demak.
Ia pun tak sepakat terkait pembangunan Giant Sea Wall di sepanjang pantai utara. Alasannya, pembangunan yang dipaksakan semua sama dari ujung barat ke ujung timur tak bakal efektif. Sebab, potensi dan masalah setiap wilayah berbeda. “Pesisir Tegal, Demak, dan Rembang itu beda, sehingga penanganan juga harus berbeda,” katanya. (Shafi Media Nusantara/EI-1)