Editor Indonesia, Jakarta – Pengamat kebijakan publik Sugiyanto mengkritik keras keputusan pembatalan proyek Instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (ITF) Jakarta. Menurutnya, langkah tersebut bertentangan dengan regulasi dan mencerminkan lemahnya konsistensi pemerintah dalam menangani persoalan sampah di ibu kota.
“ITF Jakarta adalah Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembatalannya tidak bisa dilakukan sepihak karena proyek ini memiliki kekuatan hukum dan prioritas dalam pembangunan nasional,” ujar Sugiyanto dalam keterangannya, yang dikutip Senin (14/4/2025)
Ia menambahkan bahwa ITF telah diatur secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan ITF. “Kalau proyek dihentikan tanpa revisi Perpres, jelas itu melanggar hukum,” tegas SGY sapaannya.
Sugiyanto juga menyebut tidak ada alasan kuat untuk menghentikan proyek tersebut. Menurutnya, pemerintah pusat telah memberikan dukungan penuh, termasuk subsidi tipping fee dan jaminan pembelian listrik dari hasil pengolahan sampah. “Kalau alasannya pembiayaan, itu tidak relevan. Semua sudah disiapkan,” ujarnya.
Penugasan kepada BUMN dalam proyek ini, menurut Sugiyanto, menunjukkan keseriusan negara. “Pembatalan ini justru menunjukkan lemahnya konsistensi kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah sampah secara sistematis dan berkelanjutan,” katanya.
Lebih lanjut, Sugiyanto mengkritik langkah Pemprov DKI yang memilih Refused Derived Fuel (RDF) sebagai alternatif pengganti ITF. Ia menilai RDF tidak memenuhi kriteria sebagai teknologi ramah lingkungan sesuai Perpres 35/2018. “RDF bukan bagian dari PSN dan tidak disebut dalam Perpres. Menggantikan ITF dengan RDF itu keliru secara hukum dan strategi,” tegasnya.
Kontroversi Pembangunan RDF Plant di Rorotan
Sugiyanto juga menyoroti proyek RDF Plant di Rorotan yang kini dihentikan sementara. “RDF hanya mengolah sampah jadi bahan bakar padat, bukan listrik. Dari sisi efisiensi energi, volume pengurangan sampah, dan standar nasional, ITF jauh lebih unggul,” jelasnya.
Ia mempertanyakan dasar hukum proyek RDF Rorotan yang disebut belum tercantum dalam RPJMD ataupun regulasi nasional. “Kalau ini dipaksakan tanpa landasan hukum yang kuat, patut dicurigai ada kepentingan tertentu,” katanya.
Anggaran RDF Rorotan yang mencapai Rp1,3 triliun dari APBD DKI 2024 juga menuai sorotan. “Apakah sudah ada kajian mendalam? Atau justru berpotensi menimbulkan praktik KKN?” kata Sugiyanto.
Dampak sosial dan lingkungan dari RDF juga tidak bisa diabaikan. “Bau busuk dan polusi udara sudah memicu protes warga. Kesehatan masyarakat harus jadi prioritas,” ujarnya.
Sugiyanto juga mengungkap informasi bahwa peresmian RDF Rorotan oleh Gubernur Pramono Anung ditunda karena bau menyengat di lokasi. “Ini memperjelas bahwa persoalan teknis dan lingkungan belum tuntas,” tegasnya.
Jika RDF tak bisa diresmikan sesuai Program 100 Hari Gubernur DKI Jakarta, menurutnya, hal ini merupakan kegagalan besar. “Gagalnya RDF Rorotan merusak kredibilitas program prioritas gubernur. Harus ada tindakan tegas, termasuk teguran atau pencopotan pejabat terkait,” pungkas SGY. (Har)