Kawsan hiburan malam di Bandungan, Semarang, Jateng/dok.ei-shafi

Pemkot Semarang Pilih Kenaikan Pajak Hiburan Terendah Sebesar 40%

Editorindonesia, Semarang- Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, Jateng akan mengambil kenaikan pajak hiburan terendah sebesar 40%. Opsi tersebut sebagaimana yang ditetapkan pemerintah pusat melalui undang-undang.

Mengacu UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pemerintah menaikkan pajak hiburan tertentu menjadi 40-75%.

Pasal 58 ayat 2 UU No. 1/2022 atau UU HKPD menyebutkan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

Namun demikian, pada ayat selanjutnya disebutkan khusus tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%. Selanjutnya, tarif PBJT akan ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) di masing-masing daerah.

Merujuk pada pasal 58 ayat 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, berikut ini daftar subjek yang dikenai pajak hiburan tertentu; diskotek, karaoke, Kelab malam, bar dan mandi uap/spa

Kepala Bapenda Kota Semarang, Indriyasari mengatakan, kenaikan pajak hiburan tertentu merupakan implementasi aturan pemerintah pusat yaitu UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“Dari Perda tersebut, Pemkot Semarang mengambil yang terendah yaitu 40 persen. Kalau keberatan, silakan ceritakan kepada kami secara resmi agar kami tahu kondisi usahanya. Ini bilang keberatan tapi tidak ada surat (yang menyatakan keberatan) yang masuk ke Bapenda,” kata Indriyasari, di Semarang, Sabtu (20/1/2024).

Ia menjelaskan, aturan kenaikan pajak itu masih dalam proses penyusunan Perda dan belum resmi diberlakukan oleh Pemkot Semarang. Saat ini masih dilakukan public hearing dan sosialisasi kepada masyarakat.

“Kami sedang menyusun kajian supaya wali kota bisa mengambil kebijakan terkait hal ini, Jika memang teman-teman pengusaha merasa keberatan, bisa komunikasi dengan Bapenda, baik langsung atau bersurat lebih baik. Intinya tidak mungkin Ibu Wali Kota membiarkan masyarakat keberatan membayar pajak,” tegasnya.

Ia juga meminta masyarakat untuk disiplin dalam membayar pajak demi kelancaran pelaksanaan pembangunan. Pasalnya, masih ada wajib pajak yang belum membayar pajak sesuai ketentuan bahkan sebelum terjadi kenaikan pajak.

“Ibu Wali Kota pasti mendengarkan tentang keberatan ini. Mari kita saling introspeksi, membayar pajak sesuai aturan dan kenyataan,” pintanya.

Sementara itu, Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu menegaskan, pihaknya masih menunggu hasil judicial review tentang kenaikan pajak tersebut. Dirinya memastikan akan mencari jalan tengah yang terbaik.

“Kalau memang ada yang keberatan, kita terbuka seandainya ada yang minta keringanan. Karena kadang-kadang kan peraturan itu bisa baku (saklek) bisa tidak. Kami inginnya mengusahakan yang terbaik,” tandasnya.

Akan tetapi, Kementerian Keuangan menyanggah kekhawatiran soal dampak terhadap pariwisata tersebut karena tarif pajak yang dinaikkan hanya berlaku pada jasa hiburan “mewah” yang dinikmati kalangan masyarakat tertentu

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pada 2023 total pendapatan daerah dari pajak hiburan sebesar Rp 2,2 triliun. Hampir setara dengan realisasi pada 2019 saat sebelum Covid-19 sebesar Rp 2,4 triliun.

Saat Covid-19 merebak di Indonesia pada 2020 realisasi penerimaan pajak hiburan di daerah memang turun menjadi hanya Rp 787 miliar. Lalu, pada 2021 sudah semakin turun menjadi 477 miliar. Namun, setelah Covid-19 mereda pada 2022 angkanya naik menjadi Rp 1,5 triliun, dan semakin tinggi pada 2023 menjadi Rp 2,2 triliun.

“2023 itu sudah Rp 2,2 triliun, jadi sudah bangkit,” kata Lydia saat dikutip pada konferensi pers di kantor pusat Kemenkeu, Jakarta.

Pada masa itu pun, Lydia menekankan, tarif pajak hiburan sudah ada yang diterapkan daerah sekitar 40%-75% seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) untuk hiburan khusus. Padahal, kala itu masih berlaku ketentuan UU PDRD yang tak mewajibkan batas minimum 40%.

Ia mengatakan, setidaknya ada 177 daerah yang menerapkan tarif di kisaran 40%-75% pada masa itu, dari total 436 daerah. Terdiri dari tarif kisaran 40-50% sebanyak 36 daerah, 50-60% sebanyak 67 daerah, 60-70% sebanyak 16 daerah, dan 70-75% ada sejumlah 58 daerah.

“Jadi kalau basenya keputusan pembahasan di DPR itu sudah melihat praktik-praktik pemungtuan di beberapa daerah yang sudah menerapkan 40% itu dengan dasar UU 28/2009, jadi ini bagi daerah bukan sesuatu yang baru,” ungkap Lydia.

Selain jenis objek yang termasuk dalam pajak hiburan khusus dalam PBJT itu, UU HKPD menetapkan tarif pajak jasa hiburan lainnya maksimal hanya sebesar 10%. Turun dari batas maksimal untuk tarif pajak hiburan umum yang termuat dalam UU PDRD maksimal sebesar 35%.

“Ini harus kita cemati ada penurunan tarif yang ditetapkan UU yang semula jasa kesenian dan hiburan umum itu sampai dengan 35%, dengan UU ini menjadi sampai dengan 10%. Mengapa? Ini dikarenakan pemerintah sangat mendukung pengembangan pariwisat di daerah,” kata Lydia.

Menurutnya, tidak benar jika pemerintah dianggap tidak mendukung pariwisata. Sebab tarif pajak untuk jasa hiburan lainnya justru turun dari minimal 35% menjadi maksimal 10%. (Shafi Media Nusantara/EI-1)