Nasional

Puasa dalam Perspektif Lintas Agama: Refleksi Spiritual dalam Iftar dan Silaturahim Bersama

×

Puasa dalam Perspektif Lintas Agama: Refleksi Spiritual dalam Iftar dan Silaturahim Bersama

Sebarkan artikel ini
Puasa dalam Perspektif Lintas Agama: Refleksi Spiritual dalam Iftar dan Silaturahim Bersama
Usai Iftar dan shalat tarawih, diskusi bertajuk “Puasa dalam Perspektif Agama-Agama” Ahad (9/3)/dok.Editor Indonesia/HO-At

Editor Indonesia,  Jakarta – Dalam suasana penuh kehangatan dan kebersamaan, Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) bersama Eduversal Foundation dan Komunitas Orbit Lintas Karya menggelar acara Iftar dan Silaturahim pada Ahad, 9 Maret 2025, di kediaman Prof. Dr. Din Syamsuddin di Jalan Margasatwa Raya 27, Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Acara yang dihadiri oleh puluhan tokoh lintas agama ini tidak hanya menjadi momen berbuka puasa bersama, tetapi juga memperkuat dialog antariman dalam suasana Ramadan. Usai shalat tarawih, diselenggarakan diskusi bertajuk “Puasa dalam Perspektif Agama-Agama”, yang menghadirkan para pemuka agama dari berbagai kepercayaan.

Keakraban dalam Kebersamaan

Sejak satu jam sebelum berbuka, para peserta mulai berdatangan dan duduk lesehan di atas karpet Turki di ruangan besar kediaman Prof. Din. Obrolan ringan dan perkenalan mengalir hangat, mencerminkan eratnya jalinan persaudaraan di antara mereka.

Ketika adzan maghrib berkumandang, peserta berbuka dengan makanan khas Turki yang disediakan oleh Eduversal Foundation, seperti baklava, borek, dan kurma sebagai hidangan pembuka, serta pilav dengan kebab dan manti sebagai sajian utama. Menu berbuka semakin kaya dengan beragam hidangan khas Indonesia yang turut disajikan.

Usai shalat maghrib berjamaah bagi peserta muslim, acara berlanjut dengan makan malam bersama dalam suasana penuh keakraban. Hidangan yang melimpah tidak hanya dinikmati di tempat, tetapi juga dibagikan kepada peserta untuk dibawa pulang.

Puasa dalam Perspektif Lintas Agama

Setelah shalat tarawih yang dipimpin oleh Prof. Din Syamsuddin, diskusi dimulai dengan para pembicara duduk berderet menghadap peserta. Dalam pembukaannya, Prof. Din menegaskan bahwa puasa adalah praktik universal dalam berbagai agama, yang meskipun memiliki perbedaan bentuk, tetap berintikan nilai yang sama: menahan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Pandangan Para Tokoh Agama tentang Puasa

  • Handoyo Budhisejati (Katolik) menjelaskan bahwa dalam tradisi Katolik, puasa dan pantang merupakan bagian penting dari ibadah, terutama selama masa Prapaskah. Umat Katolik berpuasa pada Rabu Abu dan Jumat Agung, dengan aturan makan hanya sekali kenyang dalam sehari, serta pantang daging setiap Jumat. “Puasa dalam Katolik mengajarkan disiplin rohani dan solidaritas dengan mereka yang berkekurangan,” katanya.
  • Uung Sendana, mantan Ketua Umum MATAKIN, menambahkan bahwa dalam ajaran Konghucu, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi lebih kepada pembinaan moral dan pengendalian diri. Dalam tradisi Zhai Jie, seseorang berpuasa dengan membatasi konsumsi makanan tertentu serta menghindari perilaku buruk. “Puasa dalam Konghucu menekankan kesederhanaan, introspeksi, dan kebajikan, ujarnya.
  • Phillip K. Widjaja, Ketua Umum Permabudhi, menjelaskan bahwa dalam ajaran Buddha, puasa dilakukan sebagai bagian dari pelatihan disiplin diri dan meditasi. Umat Buddha menjalankan Uposatha, yaitu puasa pada hari-hari tertentu dalam kalender lunar, di mana mereka tidak makan setelah tengah hari. “Puasa dalam ajaran Buddha bertujuan untuk mencapai kejernihan batin dan mengendalikan nafsu,” katanya.
  • Nyoman Udayana, tokoh Hindu, menjelaskan bahwa dalam Hindu, puasa disebut Upavasa, yang berarti mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menahan diri dari makanan, minuman, serta hawa nafsu. Puasa dalam Hindu memiliki beragam bentuk, seperti Ekadashi, yang dilakukan setiap dua minggu sekali, dan Shivaratri Vrata, yang dijalankan untuk menghormati Dewa Shiva. “Dalam Hindu, puasa bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga menyucikan pikiran dan jiwa,” jelasnya.
  • Pdt. Jacky Manuputti, Ketua Umum PGI, mewakili Kristen Protestan, menguraikan bahwa dalam tradisi agama ini, puasa adalah bentuk ibadah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa sering dikaitkan dengan masa Prapaskah, yang berlangsung selama 40 hari sebelum Paskah. “Yesus sendiri berpuasa di padang gurun selama 40 hari sebagai bentuk penguatan spiritual,” jelasnya. Dalam Kristen Protestan, puasa bukan hanya pantang makanan, tetapi juga menahan diri dari hal-hal yang dapat mengalihkan fokus dari ibadah.
  • Kyai Amidhan Saberah, mantan Ketua MUI, menjelaskan bahwa dalam Islam, puasa Ramadan adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mampu. Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa adalah latihan spiritual untuk meningkatkan ketakwaan. “Puasa mengajarkan kesabaran, kepedulian kepada sesama, serta mendekatkan diri kepada Allah,” paparnya.

Menemukan Kesamaan dalam Keberagaman

Di akhir diskusi, Prof. Din menyimpulkan bahwa meskipun ada perbedaan tata cara dan tujuan puasa di berbagai agama, terdapat satu nilai yang menyatukan: puasa adalah latihan menahan diri untuk mencapai kesucian dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.

“Dari berbagai perspektif ini, kita melihat bahwa puasa bukan sekadar ibadah ritual, tetapi juga sarana membangun karakter, memperkuat kebersamaan, dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan,” tutupnya.

Acara Iftar dan Silaturahim ini pun berakhir dengan kehangatan dan semangat persaudaraan. Di tengah keberagaman keyakinan, kebersamaan tetap terjalin erat, menegaskan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk bersatu, melainkan kekayaan yang harus dirawat bersama. (AT)