Warga Yahudi AS Ditangkapi Usai Unjuk Rasa Serangan Israel di Gaza
Editorindonesia, Jakarta – Ratusan warga Yahudi AS yang tergabung dalam aktivis Yahudi sayap kiri usai unjuk rasa menentang pemboman dan blokade Israel terhadap Gaza di di depan Gedung Putih dan Kongres, Washington, Amerika Serikat (AS), ditangkap polisi. Mereka ditangkap karena dituduh mengganggu ketertiban umum.
Aksi mereka ditentang oleh kelompok Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (Anti-Defamation League) karena dianggap tidak mewakili sesama warga Yahudi. Hal ini menandakan semakin besarnya keretakan dalam komunitas Yahudi oleh perang Israel dan Palestina yang merenggut ribuan nyawa.
Polisi menahan sekitar 400 demonstran pada Rabu (18/10/2023), setelah aktivis Yahudi sayap kiri tersebut melakukan protes duduk di Capitol Hill di dalam Gedung Cannon, gedung kantor kongres tertua, menuntut gencatan senjata segera dalam konflik terbaru antara Israel dan Palestina.
Penangkapan tersebut menyusul protes serupa pada Senin (16/10/2023) ketika 50 aktivis ditahan karena memblokir gerbang Gedung Putih. Acara tersebut diselenggarakan bersama oleh Jewish Voice for Peace dan IfNotNow, dua kelompok sayap kiri yang berkampanye dengan platform yang jelas-jelas anti-Zionis dan pro-Palestina.
Para pengunjuk rasa, sebagaimana dilansir dari The Guardian, Jumat (20/10/2023) disebutkan, beberapa dari mereka mengibarkan bendera Palestina menuduh Israel bersiap melakukan genosida di Gaza. Penulis dan aktivis sosial Naomi Klein mengatakan kepada pengunjuk rasa yang berkumpul di National Mall di Washington bahwa Israel mencoba melakukan genosida dengan memanfaatkan ketakutan orang Yahudi akan adanya genosida baru.
“Kami tidak akan membiarkan ketakutan kami terhadap antisemitisme dimanipulasi dengan cara ini,” jelasnya.
Sebagai tanggapan, Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (ADL) yang sangat pro-Israel mengatakan bahwa para aktivis tersebut adalah anggota organisasi radikal sayap kiri yang tidak mewakili mayoritas komunitas Yahudi.
Dalam sebuah pernyataan, Direktur Regional ADL di Washington DC mengatakan para aktivis tersebut anti-Zionis yang menentang hak keberadaan Israel. “Mari kita perjelas anti-Zionisme adalah anti-semitisme,” katanya.
David Friedman, Mantan Duta Besar AS untuk Israel yang konservatif pada masa kepresidenan Donald Trump, mengatakan setiap orang Yahudi Amerika yang menghadiri rapat umum ini bukanlah seorang Yahudi.
Beberapa dari mereka yang hadir memang bukan orang Yahudi, namun aksi pada Senin (16/10), maupun Rabu (18/10), dipimipin oleh para rabi.
Brant Rosen, seorang rabi dari Los Angeles, mengatakan kepada para demonstran pada bahwa mereka menyaksikan salah satu momen moral paling penting yang akan dialami dalam hidup. Ia mengatakan generasi mendatang akan bertanya “Apakah kita bertindak, atau hanya berdiam diri sementara genosida dilakukan atas nama kita?,” ucapnya kepada massa.
Beberapa peserta menceritakan ke-Yahudi-an mereka dipertanyakan oleh rekan seagama atau bahkan anggota keluarga karena antipati mereka terhadap Israel. “Saya telah disebut sebagai seorang Yahudi yang membenci diri sendiri dan sering diludahi,” kata Phoebe, 61, seorang musisi dari Alexandria, Virginia, yang menyembunyikan nama belakangnya dan mengatakan dia telah mengunjungi Israel empat kali.
Baca Juga: Gereja Ortodoks di Kota Gaza Dibombardir Zionis Israel Ratusan Pengungsi Tewas
“Adikku dan keluarganya tinggal di Israel. Hal ini menyebabkan perpecahan besar dalam keluarga saya, sungguh tragis,” tambahnya.
Mel Tanzman, 72, seorang pensiunan pekerja sosial dari New York, berkata: “Saya belum pernah ke Israel. Saya tidak pernah menjadi penggemar Zionisme atau negara keagamaan apa pun yang didominasi oleh satu kelompok. Anda disebut seorang Yahudi yang membenci diri sendiri jika Anda prihatin dengan apa yang terjadi di Palestina. Setiap kritik terhadap Israel dilihat sebagai anti-semit.”
Unjuk rasa pada Rabu (18/10), terjadi setelah ledakan hari sebelumnya di rumah sakit Arab al-Ahli di Gaza, yang menewaskan ratusan warga sipil oleh Israel.
Tak satu pun dari mereka yang diajak bicara oleh The Guardian bersedia menerima versi kejadian tersebut, dan bersikeras bahwa sejarah menunjukkan bahwa kemungkinan besar Israel adalah pelakunya.
“Israel tidak memiliki catatan yang memberi Anda alasan untuk mempercayai mereka. Kami tahu bahwa pola mereka adalah mengaburkan, berbohong, dan membingungkan ketika hal-hal ini terjadi,” kata Ariel Gold, Direktur Eksekutif National Fellowship of Reconciliation. (Her)
Baca Juga: Pemerintah Israel Pidanakan Warganya yang Pro-Palestina