Editorindonesia, Jakarta – Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai kasus kekerasan dalam rumat tangga (KDRT), yang berujung terbunuhnya empat anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan bukan KDRT. Namun sebagai pembunuhan berencana. Dari kejadian ini polisi harus merespon cepat setiap kasus KDRT yang dilaporkan korban.
“Kejadin ini sedemikian ekstrim, maka sangat relevan untuk dicari tahu kondisi bahkan masalah mental yang mungkin dialami pelaku. Apakah depresi, adiksi obat-obatan, dan lainnya. Dari kejadian ini, polisi harus merespon secepat mungkin laporan atau begitu menerima kabar tentang KDRT,” ungkap Reza Indragiri Amriel, kepada editorindonesia.com, Sabtu (9/12/2023).
Diakui Reza Indragiri, penanganan KDRT memang tidak mudah dalam praktiknya. Misalnya, di Amerika Serikat, laporan tentang KDRT masuk setiap 3 menit. Di Australia, setiap 2 menit. “Di Indonesia, saya tak punya datanya. Perkiraan saya, rendah, karena masyarakat menganggap KDRT sebagai masalah domestik yang tabu untuk diikutcampuri. Belum lagi jika khalayak luas mengalami krisis kepercayaan terhadap polisi,” ujar Reza.
Aalagi, lanjut Reza, jumlah polisi juga acap kali masih disebut-sebut sebagai kendala bagi kecepatan kerja polisi. Petugas Bhabinkamtibmas juga, berdasarkan pengamatan di lingkungan Bogor Barat, kurang gesit dan rendah responsivitasnya.
“Situasi KDRT yang berat juga bisa membahayakan jiwa petugas polisi. Padahal, saya bertanya-tanya, seberapa jauh polisi kita sudah terlatih agar bisa menangani insiden KDRT secara aman,” ucapnya.
Sebutan kejadian ini sebagai KDRT, menurut Reza, sepertinya tidak lagi memadai. “Ini tepat disebut pula sebagai kasus pembunuhan berencana terhadap anak. Kalau pelakunya waras, hukum mati,” ujar Reza dengan nada tegas.
“Saya tidak bermaksud mendramatisasi. Tapi sebagaimana yang saya sering kemukakan belakangan ini, saya waswas kita sedang berhadapan dengan tanda-tanda suicide epidemic. Dalam kasus ini, pelaku sepertinya juga mencoba bunuh diri, tapi gagal. Apa pun itu, bunuh diri sudah menjadi aksi,” kata Reza menjelaskan lebih lanjut.
Dengan asumsi ini merupakan satu kasus yang menandai suicide epidemic, dan bertalian dengan KDRT, jelas Reza, maka tidak cukup lagi penyikapan kasus per kasus. Butuh program berskala luas untuk mengatasi KDRT dan bunuh diri.
“Perlakuan punitive berupa pemenjaraan, misalnya, tidak serta-merta mujarab. Dalam kasus KDRT dua selebritas belum lama ini, yang berujung penjara bagi suami, saya mengusulkan ada perlakuan selektif berupa wajib rehabilitasi bagi pelaku. Antara lain anger management, drug intoxification,” ungkap dia maparkan.
Sebagaimana ramai diberitakan, pria berinisial P dilaporkan atas kasus KDRT, sebelum diduga membunuh empat anaknya di kontrakan Gang Haji Roman, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Ade Ary Syam Indradi berujar, P dilaporkan karena diduga menganiaya istrinya, D.
“Dugaannya seperti itu (KDRT). Hal ini didasari dari laporan polisi yang diterima Polsek Jagakarsa, Sabtu (2/12/2023) sore. Polisi menerima laporan dengan terlapor saudara P,” ujar Ade Ary di Jagakarsa, Rabu (6/12/2023) malam.
Ade Ary menyebutkan, P dilaporkan ke polisi oleh kakak iparnya. “Laporannya dari kakak D. Terlapornya P dan dia diduga melakukan KDRT,” sebut dia. Walau demikian, pihak kepolisian belum meminta keterangan P. Terduga pelaku berdalih keempat anaknya tak bisa ditinggal karena D sedang dirawat di rumah sakit.
“Istrinya dirawat sejak Sabtu. Makanya pas kami panggil untuk pemeriksaan, dia belum bersedia,” kata Ade Ary.
Belakangan diketahui, empat anak P dan D ditemukan meninggal di kontrakan Gang Haji Roman, Rabu sekitar pukul 14.50 WIB. Jasad keempat bocah itu ditemukan berjejer di kasur salah satu kamar. Mereka diduga dihabisi oleh ayahnya sendiri.
Adapun P ditemukan di kamar mandi rumah kontrakan tersebut. Kedua pergelangan tangannya penuh luka dan mengeluarkan darah. Polisi juga menemukan sebilah pisau di dekat tubuh P. Kini, polisi masih menyelidiki kasus tersebut. (Her)
Baca Juga: