Editor Indonesia, Jakarta – Nama Rina Sekhanya mungkin belum terlalu familiar di telinga publik, tetapi kiprahnya di dunia bisnis, khususnya sektor pertambangan mineral, penuh dengan cerita dramatis.
Sosoknya dikenal tidak hanya sebagai pengusaha tangguh, tetapi juga sebagai individu yang berhasil bangkit dari cobaan berat di masa lalu. Kasus hukum yang pernah menyeretnya ke meja hijau tidak membuatnya jera. Kini, ia kembali menjadi sorotan, kali ini melalui perusahaannya yang menarik perhatian berbagai LSM dan organisasi lingkungan, sehingga ia pun dijuluki ‘Ratu Nikel’.
Jejak Kasus Hukum yang Panjang
Kisah panjang Rina Sekhanya di ranah hukum dimulai pada tahun 2012, ketika ia terlibat dalam kasus hukum yang cukup kompleks terkait dugaan pelanggaran dalam aktivitas bisnisnya. Kasus ini sempat membuatnya mendekam di tahanan. Proses hukum yang ia jalani berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya mencapai tingkat kasasi di Mahkamah Agung, yang dalam putusan terakhir menyatakan bahwa Rina bebas dari segala tuntutan hukum.
Bagi sebagian orang, pengalaman buruk seperti itu mungkin cukup untuk menghentikan langkah mereka. Namun, tidak bagi Rina. Ia kembali ke dunia pertambangan dengan semangat yang tak pernah surut dan kini memiliki saham mayoritas di beberapa perusahaan tambang besar nikel, salah satunya PT Cahaya Kabaena Nikel. Dengan kepemilikan saham sebesar 98 persen, Rina menjadi salah satu tokoh kunci dalam pengelolaan perusahaan ini.
PT Cahaya Kabaena Nikel beroperasi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, yang kaya akan sumber daya mineral. Sayangnya, keberhasilan bisnis ini tidak lepas dari kontroversi. Perusahaan tersebut diduga melanggar aturan pengelolaan pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi dari aktivitas tambang. Aktivitas PT Cahaya Kabaena Nikel menjadi perhatian serius dari berbagai LSM lingkungan, seperti Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara, yang menyoroti dampak lingkungan dari operasi perusahaan tersebut, termasuk deforestasi besar-besaran di Pulau Kabaena.
Menurut laporan, sekitar 3.374 hektar hutan, termasuk hutan lindung, telah hilang akibat aktivitas tambang selama dua dekade terakhir. Selain itu, sampel air di sekitar area tambang menunjukkan kandungan logam berat yang melebihi batas aman, memicu kekhawatiran akan risiko kesehatan bagi masyarakat setempat. Pulau Kabaena, dengan luas kurang dari 2.000 km², juga dianggap rentan terhadap eksploitasi berlebihan, yang melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Kasus serupa dialami oleh penduduk di Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Meskipun berdasarkan putusan Mahkamah Agung PT GKP, anak usaha Harita Group, sudah dilarang menambang, faktanya hingga hari ini sudah ada 92 tongkang yang mengangkut tanah berisi kandungan nikel (dari pantauan dilapangan hingga 18 Januari 2025). Hal ini memberikan kesan bahwa negara kalah terhadap praktik tambang ilegal.
Kolaborasi Duo Ratu Nikel
Selain PT Cahaya Kabaena Nikel, Rina Sekhanya juga terlibat dengan perusahaan tambang lainnya, PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS). Perusahaan ini sebelumnya dimiliki oleh mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan sejumlah kawan-kawan HIPMI yang dibentuk pada tahun 2003.
Pada Maret 2024, struktur kepemilikan saham PT TMS mengalami perubahan. Berdasarkan data dari Ditjen AHU Kemenkumham, disebutkan bahwa PT Cahaya Kabaena Nikel menguasai 50 persen saham, PT SP Setia International 35 persen, Muhammad Lutfi 7 persen, Ali Said 7 persen, dan PT Bani Kutup Ria 1 persen.
Sekretaris Center of Energy and Resources (CERI), Hengki Seprihadi, yang dikutip Minggu (19/1/2025), mengatakan berdasarkan penelusuran CERI pada Website MODI Kementerian ESDM, 25 persen saham PT TMS dimiliki oleh PT Bintang Delapan Tujuh Abadi. “Penelusuran lebih lanjut mengungkapkan bahwa 99 persen saham PT Bintang Delapan Tujuh Abadi tercatat sebagai milik Alaniah Nisrina, sementara 1 persen sisanya dimiliki oleh Arinta Nila Hapsari,” ungkap Hengki.
Menurut Hengki, Arinta Nila Hapsari ternyata merupakan istri Gubernur Sulawesi Tenggara Terpilih pada Pilkada 2024, Andi Sumangerukka. Belakangan, Arinta Nila Hapsari dijuluki sebagai Ratu Nikel Sultra. Sementara itu, Alaniah Nisrina, yang ternyata merupakan anak kandung dari Arinta Nila Hapsari dan Andi Sumangerukka, juga terlibat dalam bisnis ini.
Hengki menjelaskan bahwa Andi Sumangerukka, yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Sulawesi Tenggara dan kemudian dipromosikan menjadi Pangdam XIV/Hasanuddin, memiliki karir cemerlang di militer. Berdasarkan LHKPN KPK, harta kekayaan Andi Sumangerukka tercatat mencapai Rp632 miliar, menjadikannya calon gubernur terkaya di Indonesia pada Pilkada 2024. (Har)