Warga Pulau Rempang Sedari Awal Tidak Mau Digusur
Editor Indonesia, Batam – Penolakan masyarakat di 16 titik Kampung Tua di Pulau Rempang untuk digusur, bahasa pemerintah digeser, untuk proyek Rempang Eco City bukan tanpa alasan. Sejumlah fakta hukum disampaikan Riky Indrakari, mantan anggota DPRD Kota Batam selama dua periode sejak 2009.
“Fakta bahwa warga di 16 titik Kampung Tua telah menempati Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru tersebut, bahkan sebelum terbentuknya BP Batam tahun 1971. Dapat dibuktikan dari beberapa prasasti, makan leluhur, bekas lubang pertahanan tentara Jepang, dan sebagainya,” ucap Riky saat dihubungi editorindonesia.com, Sabtu (23/9/2023).
Dalam perjalanannya, lanjut dia, Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Batam, menerbitkan Surat Nomor : 09/TP/1/2002 tanggal 17 Januari 2002 Perihal Tertib Pertanahan di Pulau Batam, Rempang, dan Galang kepada Camat Se-Kota Batam yang isinya menyatakan:
1. Untuk sementara waktu tidak dibolehkan mengeluarkan Surat Keterangan atas tanah kepada siapapun baik Badan Hukum maupun Perorangan;
2 Tidak dibenarkan mengetahui pelepasan hak atau ganti-rugi atas sebidang tanah
3. Agar Saudara menginstruksikan hal ini kepada Lurah/ Kepala Desa di wilayah saudara”
“Surat tersebut pada pokoknya bertentangan dengan “Hak-Hak Warga Negara/ Masyarakat Adat Tempatan” yang seharusnya dilindungi dan diakui oleh Pemerintah sebagaimana Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Jo. Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Jo. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah justru dilanggar dan dikesampingkan oleh Pemerintah Kota Batam pada saat itu,” ungkap Riky.
Riky yang juga Ketua DPD Partai Gelora Kota Batam ini, menambahkan bahwa Pemerintah Daerah Kota Batam menetapkan Kecamatan Galang (Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru) sebagai Perkampungan Tua yang merupakan Cagar Budaya melalui Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Jo. Keputusan Walikota Batam Nomor: KPTS. 105/SK/III/2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam.
“Tetapi akibat Surat Sekda tersebut menyebabkan warga 16 Kampung Tua tidak terlayani proses administrasi legalitas tanah (status quo). Padahal mereka memiliki KTP, Kartu Keluarga (KK) dan membayar PBB untuk tanah yang mereka kuasai dan manfaatkan. Padahal surat tersebut bertentangan dengan UU,” beber Riky.
Ke 16 Kampung tua tersebut tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.
Saat disinggung dalam pemberitaan Pemerintah Daerah Batam menyebutkan bahwa rencana investasi Rempang Eco City merupakan kelanjutan dari Perda No.3 Tahun 2003 tentang kawasan wisata terpadu eksklusif (KWTE), Riky dengan tegas menolak pernyataan tersebut
Menurut Riky, rencana investor di Rempang tahun 2023 (Eco-city Rempang) bukan kelanjutan proyek 2004 (Perda KWTE (kawasan wisata terpadu eksklusif), terkait pariwisata, konsepnya akan membangun destinasi pariwisata seperti di Genting Highland (Malaysia) atau Makau (China).
“Jadi statemen Kepala BP Batam adalah keliru. Karena, proyek Perda No 3 Tahun 2003 tentang Pariwisata (KWTE) dan juga Perda No 2 Tahun 2004 tentang RTRW, keduanya sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat,” tegas Riky.
“Intinya rencana investasi (2004 dan 2023) tersebut sama-sama mengakui dan mengecualikan (exclude) 16 titik kampung tua sebagai wilayah penguasaan investor,” tutup Riky. (Frd)