Toko minuman keras/dok.istock

Sejarah Baru, Arab Saudi Bersiap Buka Toko Alkohol Pertama Di Riyadh

Editorindonesia, Jakarta – Arab Saudi sedang bersiap membuka toko alkohol pertamanya di ibu kota Riyadh yang hanya diperuntukkan melayani diplomat non-Muslim. Langkah ini merupakan tonggak bagi Saudi dalam upaya yang dipimpin Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) agar negeri ultrakonservatif ini membuka diri untuk wisata dan bisnis, meski nyata-nyata mengonsumsi minuman beralkohol dilarang dalam Islam. Hal tersebut juga bagian dari rencana yang lebih luas yang dikenal sebagai visi 2030 untuk membangun perekonomian di luar minyak.

Dikutip dari Reuters, Kamis (25/1), pelanggan harus mendaftar melalui aplikasi seluler, mendapatkan kode izin dari kementerian luar negeri, dan mematuhi kuota bulanan dalam pembelian mereka. Toko baru tersebut terletak di Kawasan Diplomatik Riyadh, sebuah lingkungan tempat tinggal kedutaan dan diplomat, dan akan dibatas secara ketat untuk non-Muslim. Belum jelas apakah ekspariat non-Muslim lainnya akan memiliki akses ke toko tersebut.

Jutaan ekspariat tinggal di Arab Saudi, tetapi kebanyakan dari mereka adalah pekerja Muslim dari Asia dan Mesir. Toko tersebut diperkirakan akan dibuka dalam beberapa minggu mendatang.

Arab Saudi memiliki undang-undang yang ketat yang melarang meminum alkohol yang dapat dihukum dengan ratusan cambukan, deportasi, denda, atau penjara. Larangan ini diberlakukan sejak tahun 1952. Larangan terjadi sebagai tanggapan atas insiden yang melibatkan Pangeran Mishari bin Abdulaziz Al Saud dan diplomat Inggris, Cyril Ousman.

Di sebuah pesta yang diselenggarakan oleh diplomat tersebut, yang saat itu menjabat sebagai wakil konsul Inggris di Jeddah, pangeran berusia 19 tahun itu menembak mati Ousman setelah dia menolak untuk memberinya lebih banyak alkohol. Menyusul pembunuhan tersebut Pangeran Mishari dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Dikarenakan insiden itulah, Raja Abdulaziz Ibn Saud, pendiri negara Saudi modern, melarang semua minuman beralkohol di negara tersebut.

Sebagai bagian dari reformasi, hukuman cambuk telah banyak digantikan dengan hukuman penjara. Pemerintah pada Rabu (24/1) mengonfirmasi laporan di media bahwa mereka memberlakukan pembatasan baru terhadap impor alkohol dalam pengiriman diplomatik. Sejauh ini, alkohol hanya tersedia melalui surat diplomatik atau pasar gelap.

Center of International Communication (CIC) mengatakan bahwa peraturan baru tersebut diberlakukan untuk melawan perdagangan gelap barang dan produk beralkohol yang diterima oleh misi diplomatik.

“Proses baru ini akan terus memberikan dan memastikan bahwa semua diplomat kedutaan non-Muslim memiliki akses terhadap produk-produk ini dalam kuota tertentu,” ungkap CIC.

Pernyataan tersebut tidak membahas rencana pembukaan toko minuman beralkohol di Riyard tetapi CIC hanya mengatakan bahwa kerangka kerja baru tersebut menghormati konvensi diplomatik internasional. (Kin)