Editorindonesia, Jakarta – Penurunan kasus demam berdarah dangeu (DBD) terendah sepanjang sejarah Yogjakarta di tahun 2023 ini, disebut karena adanya teknologi nyamuk Wolbachia yang disebar di wilayah tersebut.
Kota Yogyakarta pada tahun 2016 menjadi kota pertama di Indonesia yang mengimplementasikan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dalam pengendalian DBD. Sejak program dimulai , angka kasus DBD di Kota Yogyakarta berangsur menurun, dan pada tahun 2023 mencatatkan rekor terendahnya di angka 67 kasus.
“Pada tahun 2016 jumlah kasus di Kota Yogyakarta masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 1.700 kasus. Tahun 2023 sampai pada minggu lalu tercatat hanya di angka 67, terendah sepanjang sejarah di Kota Yogyakarta,” kata dr Lana Unwanah, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinkes Kota Yogyakarta.
Dikutip dari laman UGM, Sabtu (25/11/2023), dr Lana menyatakan penurunan kasus DBD tidak terlepas dari intervensi program nyamuk ber-Wolbachia, yang dilakukan sejak tahun 2016. Upaya itu dibarengi dengan cara-cara pemberantasan nyamuk dengan 3M dan jumantik.
Lana menerangkan, berkat penerapan program World Mosquito Program (WMP) pengendalian DBD di Kota Yogyakarta kini berjalan lebih efektif. Seiring dengan tren penurunan angka kasus dan tingkat rawat inap, kebutuhan akan intervensi fisik berupa pengasapan atau fogging menjadi berkurang. Penggunaan anggaran pemerintah daerah untuk penanganan DBD pun menjadi lebih efisien sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit lainnya.
Riset terkait teknologi nyamuk ber-Wolbachia di Indonesia dilakukan oleh WMP Yogyakarta, yang merupakan kolaborasi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Monash University, dan Yayasan Tahija. Implementasi teknologi mutakhir ini di Kota Yogyakarta dilakukan melalui penitipan ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di habitat alaminya di lingkungan masyarakat, dengan dukungan dari Dinas Kesehatan dan berbagai pemangku kepentingan terkait.
Berkat penerapan program WMP ini, ungkap Lana, pengendalian DBD di Kota Yogyakarta kini berjalan lebih efektif. Seiring dengan tren penurunan angka kasus dan tingkat rawat inap, kebutuhan akan intervensi fisik berupa pengasapan atau fogging menjadi berkurang. Penggunaan anggaran pemerintah daerah untuk penanganan DBD pun menjadi lebih efisien sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit lainnya.
Apresiasi terhadap program ini juga datang dari kalangan tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan, Totok Pratopo. Sebelum penerapan program WMP, kondisi penyebaran DBD di kampung tersebut bisa dibilang memprihatinkan. Kasus baru selalu muncul menjelang akhir tahun, bahkan hingga mengakibatkan kematian.
“Kampung di pinggir Kali Code sebenarnya memiliki potensi yang tinggi karena tingkat kebersihan lebih rendah dan banyak genangan. Bersyukur teknologi ini ditemukan. Hari ini kampung saya Jetisharjo nol kasus. Tidak ada yang sampai masuk rumah sakit dan meninggal, ini sungguh melegakan bagi kami masyarakat,” kata Totok.
Menurut Totok, teknologi ini memang sulit untuk dipahami masyarakat awam. Hal inilah yang mungkin membuat sejumlah orang sempat meragukan efektivitas program yang diterapkan. “Selama ini kita diajarkan untuk memberantas nyamuk, sekarang justru mau menyebarkan nyamuk,” ucapnya. (Frd)