Oleh: Abdullah*
Libur panjang Iduladha 2025 ini menyisakan cukup waktu untuk memanjakan diri sendiri. Sembari rebahan di kursi panjang, saya membuka Netflix tanpa ekspektasi khusus. Tapi entah mengapa, muncul satu pilihan yang memicu rasa penasaran: sebuah film dokumenter berjudul Nobody Knows: The Untold Story of Black Mormons.
Judulnya terdengar biasa, tapi ternyata isinya sama sekali tidak. Film ini bukan sekadar dokumenter sejarah—ia adalah seruan, sunyi tapi tajam, tentang bagaimana sebuah lembaga keagamaan bisa menciptakan, membenarkan, lalu berusaha melupakan ketidakadilan yang dilembagakan atas nama Tuhan.
Disajikan melalui kisah nyata para anggota Mormon kulit hitam, dokumenter ini menyibak kenyataan getir: mereka mengikuti semua aturan, membayar persepuluhan, dan mengabdi dengan setia. Tapi karena warna kulit mereka, gereja menilai mereka tidak layak menyandang imamat. Keimanan mereka diterima—tapi hanya separuh.
Sejarah mencatat bahwa sejak masa kepemimpinan Brigham Young di abad ke-19, Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir (LDS Church) menerapkan larangan yang melarang pria kulit hitam untuk ditahbiskan sebagai imam. Larangan ini bukan berasal dari kitab suci Mormon, melainkan berkembang dari tafsir dan tradisi yang sangat dipengaruhi oleh prasangka rasial dan supremasi kulit putih pada masa itu.
Larangan itu berarti bahwa pria kulit hitam, meskipun menjadi anggota setia, tidak bisa mengakses peran kepemimpinan spiritual maupun ritual penting di bait suci, termasuk sakramen pernikahan kekal. Sebuah bentuk eksklusi yang bukan hanya administratif, tetapi juga spiritual.
Pada 9 Juni 1978, sejarah mencatat perubahan signifikan: Presiden gereja saat itu, Spencer W. Kimball, mengumumkan penghapusan larangan tersebut melalui Official Declaration 2. Keputusan ini membuka pintu imamat bagi semua pria yang layak, tanpa memandang warna kulit.
Namun, perubahan ini datang setelah lebih dari satu setengah abad diskriminasi yang dilembagakan dan dibiarkan. Pengumuman ini disambut sukacita, tapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah pencabutan itu benar-benar lahir dari wahyu ilahi, ataukah akibat tekanan sosial dan perubahan zaman yang tak terelakkan?
Meski larangan tersebut dicabut, bayang-bayang diskriminasi tidak lantas hilang begitu saja. Film Nobody Knows dengan jeli menampilkan kisah generasi Mormon kulit hitam setelah 1978 yang masih menghadapi tantangan eksklusi sosial dan spiritual. Mereka kerap menjadi minoritas dalam jemaat yang didominasi kulit putih, dan merasa bahwa sejarah diskriminasi itu jarang diangkat dalam dialog resmi gereja.
Salah satu narasumber dalam film mengungkapkan, “Saya tidak tahu kalau gereja pernah melarang orang seperti saya menerima imamat sampai saya remaja. Tidak ada yang pernah membicarakannya.” Ini menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang sejarah rasisme tersebut masih minim di kalangan umat Mormon, bahkan di antara mereka yang terdampak langsung.
Pada 2013, Gereja LDS menerbitkan esai resmi berjudul Race and the Priesthood yang mengakui bahwa larangan itu didasarkan pada prasangka rasial dan bukan wahyu ilahi. Meski ini langkah penting, gereja belum pernah mengeluarkan permintaan maaf resmi. Hal ini meninggalkan kesan bahwa pengakuan tersebut masih jauh dari rekonsiliasi penuh.
Film dokumenter ini mengajak kita merenung: bagaimana sebuah institusi yang mengaku mewakili kebenaran ilahi bisa begitu lama mempertahankan kebijakan yang jelas-jelas diskriminatif? Dan bagaimana umat yang setia mengatasi luka dan rasa terpinggirkan tersebut dalam pencarian iman dan identitas mereka?
Melalui film Nobody Knows dan sejarah yang diangkatnya, kita dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa rasisme bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga dapat mengakar dalam keyakinan dan praktik keagamaan. Diskriminasi yang berlangsung selama lebih dari satu abad di Gereja LDS mengingatkan kita bahwa agama, yang seharusnya menjadi sumber keadilan dan persaudaraan, bisa saja terjebak dalam prasangka manusia.
Bagi banyak umat Mormon kulit hitam, perjalanan iman mereka adalah kisah keteguhan yang penuh perjuangan: mencintai sebuah institusi yang pernah menolak mereka dengan alasan warna kulit. Perubahan kebijakan tidak serta-merta menghapus luka dan jejak diskriminasi yang dalam.
Merenungkan semua ini, saya merasa bersyukur dan makin yakin dengan agama Islam yang saya anut. Islam mengajarkan kesetaraan hak dan martabat bagi seluruh manusia tanpa membedakan ras, warna kulit, atau suku bangsa. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Tidak ada ruang bagi diskriminasi dalam Islam, dan itulah yang membuat saya semakin teguh dalam keyakinan ini. (*)
*) Karyawan swasta, penikmat film dokumenter.








