Opini

Si Pitung dan Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

×

Si Pitung dan Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Si Pitung dan Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia
Ilustrasi/dok.Editor Indonesia-ai
Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

Awalnya tulisan ini hanya beredar di grup WhatsApp. Isinya begitu menarik sehingga sayang jika hanya terbatas di lingkaran kecil. Dengan izin penulis, kami hadirkan kembali ‘Imajinasi Ulang Indonesia Baru” untuk pembaca:

Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Muhammad Pitung yang baru saja menerima paket misterius di depan rumah pada pukul 5 pagi. Di dalam amplop cokelat tebal itu, terdapat USB drive yang berisi ribuan dokumen rahasia dari berbagai lembaga pemerintah—Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian ESDM, dan bahkan data internal dari perusahaan-perusahaan multinasional terbesar Indonesia.

Holy smoke,” gumamnya sambil memindai isi USB drive tersebut. Yang dilihatnya membuat tangannya bergetar—bukan karena teknis yang rumit, tapi karena skala pencurian yang sistematis terhadap kekayaan bangsa.

Secarik kertas kecil terjatuh dari amplop: “The truth about Indonesia’s wealth. Use it wisely. – A Concerned Patriot

Data Mengejutkan dari Whistleblower

Dua jam kemudian, Kabayan dan Nyi Iteung melihat Pitung duduk tergeletak di depan beberapa monitor, wajahnya pucat dan matanya tidak berkedip.

“Pitung, naon deui? Ti subuh-subuh can gerak,” kata Iteung sambil meletakkan sarapan di meja. (Pitung, ada apa lagi? Dari subuh belum bergerak-red)

Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

“Nyi Iteung, Kang Kabayan,” kata Pitung dengan suara bergetar, “Saya baru menemukan data yang akan mengubah pemahaman kita tentang seberapa besar Indonesia dirugikan. Ini bukan lagi estimasi atau perkiraan. Ini data faktual dari Global Financial Integrity dan investigasi internal lembaga pemerintah.”

Kabayan melihat layar yang penuh dengan angka-angka mencengangkan. “Pitung, angka-angka itu real?”

“US$6,5 miliar per tahun, Kang. Sekitar Rp 98 triliun. Itu cuma dari trade misinvoicing saja di tahun 2016. Dan ini setara dengan 6% dari total penerimaan pajak Indonesia.”

Iteung hampir jatuh dari kursi. _”Enam persen dari pajak semua? Artinya uang yang hilang itu setara dengan kebutuhan dasar negara?”

Pembongkaran Kasus Nyata dengan Pseudonym

“Lebih dari itu, Nyi. Saya akan tunjukkan kasus-kasus konkret yang berhasil diungkap, tapi saya samaran nama-namanya untuk keamanan kita,” kata Pitung sambil membuka file-file kasus pseudonym:

Kasus 1: “Palm Empire Group”

“Ini kasus terbesar yang pernah diungkap di sektor sawit,” kata Pitung sambil menampilkan diagram alur uang.

Modus Operandi:

  • 14 perusahaan afiliasi membuat jaringan transfer pricing kompleks.
  • Sawit dikirim langsung ke pembeli akhir.
  • Invoice dibuat seolah-olah dijual bertingkat: Indonesia ? Hong Kong ? Macau/BVI ? Pembeli Akhir
  • Setiap tingkat dengan harga yang terus dinaikkan, profit tertahan di offshore

Detail Kerugian:

  • Total denda: Rp 2,5 triliun (2x pajak yang tidak dibayar)
  • Pajak yang seharusnya dibayar: Rp 1,26 triliun
  • Teknik tambahan: “Jakarta fee”: biaya operasional fiktif; “Hedging fee“: biaya lindung nilai palsu; “Management fee”: biaya manajemen berlebihan

“Jadi sawit yang seharusnya memberikan devisa Rp 1,26 triliun per hari ke Indonesia, malah cuma sebagian kecil yang masuk karena mayoritas profit ‘tertinggal’ di perusahaan cangkang di luar negeri,” jelas Pitung.

Kasus 2: “Coal Trading Corporation”

Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

“Ini skema yang lebih sederhana tapi sangat efektif,” lanjut Pitung sambil menunjukkan pathway yang jelas.

Struktur Operasi:

  • Coal Mining Indonesia menjual batubara ke Trading Services Singapore dengan harga US$30/ton.
  • Harga pasar internasional: US$80/ton.
  • Trading Services Singapore langsung menjual ke China dengan harga US$78/ton.
  • Profit margin US$48/ton tertahan di Singapura

Kerugian Periode 2009-2017:

  • Total kerugian: US$125 juta.
  • Rata-rata per tahun: US$14 juta.
  • Pajak yang tidak terbayar: sekitar US$30 juta

“Bayangkan, Kang,” kata Pitung, “batubara Indonesia dijual murah ke anak perusahaan sendiri di Singapura, lalu dijual mahal ke China. Profitnya mengendap di Singapura, Indonesia cuma dapat remah-remah.”

Kasus 3: “Forest King Empire”

“Ini yang paling mengerikan,” kata Pitung sambil membuka file yang paling tebal. “Kombinasi antara deforestasi ilegal dan transfer pricing masif.”

Detail Operasi:

  • Lahan ilegal: 37.000 hektar kawasan hutan dikonversi jadi perkebunan sawit
  • Pendapatan bulanan: Rp 600 miliar dari perkebunan ilegal
  • Operasi: 18 tahun tanpa gangguan berarti
  • Ekspor ke 6 negara: India, Malaysia, Belanda, Kenya, Italia, Singapura.
  • Suap gubernur: Rp 3 miliar untuk izin ilegal
Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

Kerugian Total:

  • Kerugian negara: Rp 86,55 triliun (US$5,7 miliar)
  • Vonis pengadilan: 15 tahun penjara, denda Rp 39,7 triliun
  • Kerugian lingkungan: tidak terhitung

Iteung mengelus dada. “Tiga puluh tujuh ribu hektar hutan dirusak? Itu mah setara dengan satu kota besar!”

Kasus 4: “Nickel Cartel Network”

“Dan ini yang paling baru terungkap,” kata Pitung sambil menunjukkan data dari KPK.

Skala Operasi:

  • 5 juta ton ore nikel diekspor ilegal ke China (Januari 2020-Juni 2022).
  • Selisih nilai ekspor: Rp 14,5 triliun
  • Kerugian royalti dan bea keluar: Rp 575 miliar
  • Indikasi transfer pricing: Pemilik smelter dan IUP yang sama

“Yang licik dari skema ini,” jelas Pitung, “mereka punya tambang dan smelter sekaligus. Jadi bisa manipulasi harga transfer antar divisi sendiri. Ore nikel ‘dijual’ murah ke smelter internal, tapi smelter jual mahal ke luar negeri.”

Pathway Sistematis: Dari Hutan hingga Offshore

Kabayan yang mendengarkan dengan seksama bertanya, “Pitung, bisa dijelaskan step-by-step bagaimana uang kita ‘diangkut’ ke luar negeri?”

“Tentu, Kang. Saya tunjukkan 4 pathway utama yang terungkap:”

Pathway 1: Palm Oil Laundering Network

“Kebun sawit di Indonesia menghasilkan CPO, tapi invoice dibuat seolah dijual ke perusahaan di Hong Kong dengan harga 60% dari harga pasar. Perusahaan Hong Kong kemudian ‘menjual’ lagi ke perusahaan di Macau atau British Virgin Islands dengan harga 75% harga pasar. Baru dari sana dijual ke pembeli akhir dengan harga 98% harga pasar. Hasilnya, keuntungan sebesar 38% dari nilai sebenarnya tersimpan di rekening luar negeri yang tidak bisa menjangkau Indonesia.”

Pathway 2: Coal Trading Manipulation

“Tambang batubara Indonesia yang biaya produksinya US$15 per ton, dijual ke perusahaan dagang di Singapura dengan harga US$30 per ton—untung hanya US$15 per ton untuk Indonesia. Tapi perusahaan trading Singapura langsung menjual batubara yang sama ke pembeli di China dengan harga US$78 per ton, meraup keuntungan US$48 per ton. Total keuntungan US$63 per ton: Indonesia hanya dapat US$15, sementara US$48 mengendap di lepas pantai.”

Pathway 3: Nickel Integration Scheme

“Tambang nikel Indonesia dengan sengaja under-declare volume yang diekspor, membuat dokumen ekspor palsu dengan harga di bawah market, lalu melalui smelter terintegrasi—dimana pemilik tambang dan smelter sama—melakukan manipulasi transfer pricing. Ketika dijual ke importir China dengan harga pasar, margin keuntungannya dicuci melalui struktur korporat yang rumit.”

Pathway 4: Forest-to-Palm Conversion

“Hutan seluas 37.000 hektar konversi ilegal menjadi perkebunan sawit setelah menyuap gubernur Rp 3 miliar untuk izin palsu. Perkebunan menghasilkan pendapatan Rp 600 miliar per bulan selama 18 tahun operasi, diekspor ke berbagai negara, dengan keuntungan dicuci melalui 7+ anak perusahaan yang saling terkait.”

Mirror Statistics: Metodologi Deteksi yang Mengejutkan

“Yang paling brilian dari investigasi ini,” kata Pitung sambil membuka dashboard analitik, “adalah penggunaan ‘mirror stats’ oleh Global Financial Integrity.”

“Mirror statistics itu apa?” tanya Nyi Iteung.

“Begini, Nyi. Kalau Indonesia bilang ekspor sawit ke Malaysia bernilai US$100 juta, maka Malaysia seharusnya melaporkan impor sawit dari Indonesia bernilai sekitar US$100 juta juga (plus ongkos angkut, dan lain-lainnya).”

“Tapi kalau Indonesia bilang ekspor US$100 juta, sementara Malaysia bilang impor US$200 juta, berarti ada gap US$100 juta yang ‘hilang’ dalam perjalanan. Gap itulah yang jadi indikasi trade misinvoicing.”

Data Mirror Statistics Indonesia 2016:

  • Kesenjangan impor: US$2,5 miliar (impor Indonesia kurang dilaporkan)
  • Kesenjangan ekspor: US$3,9 miliar (nilai ekspor Indonesia tidak dilaporkan)
  • Total kesenjangan perdagangan: US$38,5 miliar (13,7% dari total perdagangan Indonesia)

Negara Partner dengan Gap Terbesar:

Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia
  1. Belanda: US$8,4 juta kerugian potensial per tahun.
  2. Swiss: US$7,5 juta kerugian potensial per tahun.
  3. Belgia: US$3,2 juta kerugian potensial per tahun

Komoditas Berisiko Tinggi (2016):

Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia
  • Essential oils (HS 33) dari Singapura
  • Vehicles (HS 87) dari Jepang dan China
  • Plastics (HS 39) dari China
  • Beverages (HS 22) dari Singapura

Breakdown Kerugian: Lebih Detail dari yang Dibayangkan

“Sekarang saya breakdown detail kerugian Indonesia dari US$6,5 miliar per tahun itu,” kata Pitung sambil menampilkan infografis.

  1. Import Misinvoicing (mark up): US$2,5 miliar
  • PPN tidak terkumpul: US$1,2 miliar (Rp 18 triliun)
  • Bea cukai hilang: US$302 juta (Rp 4,5 triliun).
  • Pajak penghasilan: US$1,1 miliar (Rp 16,5 triliun)
  1. Export Misinvoicing (mark down): US$3,9 miliar
  • Pajak penghasilan: US$1,8 miliar (Rp 27 triliun).
  • Royalti hilang: US$2,1 miliar (Rp 31,5 triliun)
Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

“Jadi total Rp 97,5 triliun per tahun yang hilang dari kantong negara. Nyi, Kang, angka ini bukan sekadar statistik. Dengan uang sebesar itu, Indonesia bisa mengangkat 1,95 juta guru honorer menjadi PNS dengan gaji layak Rp 4,5 juta per bulan. Bayangkan, hampir 2 juta guru yang selama ini hidup pas-pasan, tiba-tiba bisa fokus mendidik anak bangsa tanpa khawatir makan besok.”

Kabayan terduduk lemas. “Pitung, berarti setiap hari Indonesia kehilangan kesempatan mengangkat 5.300 guru honorer jadi PNS karena trade misinvoicing ini?”

“Tepat sekali, Kang. 5.300 guru honorer per hari yang bisa hidup layak, tapi kesempatannya hilang karena uang negara mengalir ke rekening offshore. Sementara kita sibuk debat apakah guru honorer layak diangkat PNS, ada triliunan rupiah yang seharusnya bisa membiayai kesejahteraan mereka malah ‘berlibur’ di luar negeri.”

Nyi Iteung menggeleng sedih. “Itu melanggar Pancasila sila kelima sekali. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—tapi guru yang mendidik anak bangsa hidup tidak adil, sementara uang hasil korupsi hidup mewah di luar negeri.”

“Persis, Nyi Iteung,” sahut Pitung. “Pancasila itu bukan sekadar hafalan, tapi kompas moral bangsa. Kalau 1,95 juta guru honorer bisa diangkat PNS dengan uang yang seharusnya masuk ke Indonesia, bayangkan kualitas pendidikan yang bisa kita capai. Guru yang sejahtera akan mengajar dengan hati, anak bangsa jadi cerdas, Indonesia maju. Tapi sebaliknya, kalau uangnya disedot ke luar negeri, guru tetap honorer, pendidikan amburadul, masa depan bangsa suram.”

Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

Celah Sistemik yang Dieksploitasi

Nyi Iteung yang sudah mendengarkan berjam-jam bertanya, “Pitung, kenapa bisa lolos bertahun-tahun? Kan harusnya ada yang ngawasin.”

“Pertanyaan bagus, Nyi. Ternyata mereka memanfaatkan celah-celah sistemik yang memang ada dalam tata kelola Indonesia:”

Multi-Level Governance Gap:

“Desentralisasi kebijakan sumber daya alam malah kacau. Data pendapatan berbeda-beda antar lembaga, pengukuran arm-length lemah, skema cost recovery mudah dimanipulasi.”

Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

Enforcement Technology Gap:

“Sistem Minerba (Simbara) baru diluncurkan Maret 2022, masih ada celah. Integrasi data dari IUP sampai smelter belum komprehensif. Intelijen lintas batas masih terbatas.”

Regulatory Arbitrage:

“Mereka utama di wilayah abu-abu antar-negara. Yang legal di Indonesia, abu-abu di Singapura, patuh secara teknis di Belanda—tapi kombinasinya adalah pencucian uang massal.”

Network Analysis: Siapa Saja yang Terlibat

Pitung membuka network diagram yang menunjukkan koneksi kompleks antar entitas:

Domestic Players:

  1. Mining & Plantation Companies: 47+ perusahaan besar dengan indikasi anomaly.
  2. Trading Subsidiaries: 156+ anak perusahaan yang berfungsi sebagai transfer pricing vehicle.
  3. Government Insiders: 89+ oknum dari berbagai lembaga

Offshore Network:

  1. Singapore Hub: 67+ trading companies, rata-rata profit margin 15-30%.
  2. Hong Kong-Macau Chain: 23+ layering companies.
  3. BVI/Cayman Shell Companies: 45+ ultimate holding companies.
  4. Netherlands/Switzerland: 34+ royalty dan management fee recipients

End Destination Countries:

  • China: Batubara, nikel (volume terbesar).
  • India, Malaysia: Minyak sawit.
  • Italia, Belanda, Kenya: CPO refined products
Algoritma Pencuri: Membongkar Trade-Based Money Laundering di Indonesia

Dampak Domino: Ketika Pancasila Hanya Jadi Pajangan

“Yang paling menyakitkan dari semua ini,” kata Pitung sambil menutup laptop, “adalah bagaimana trade misinvoicing ini menghancurkan sila kelima Pancasila secara sistematis.”

1.  Keadilan Sosial yang Tergadaikan: “Rp 98 triliun yang hilang per tahun itu bisa mengangkat semua 1,95 juta guru honorer jadi PNS dengan gaji layak. Bayangkan, tidak ada lagi guru yang ngajar sambil jualan gorengan untuk hidup. Tidak ada lagi guru yang terpaksa ngutang untuk bayar kos. Semua guru bisa fokus mendidik dengan hati tenang.”

2. Pendidikan Berkualitas untuk Semua: “Guru yang sejahtera akan mengajar dengan passion, bukan asal-asalan karena gaji pas-pasan. Dengan 1,95 juta guru berkualitas tersebar di seluruh Indonesia—dari Sabang sampai Merauke—tidak akan ada lagi anak bangsa yang bodoh karena tidak ada guru. Setiap desa akan punya guru matematika, fisika, bahasa yang competent.”

3. Generasi Emas yang Hilang: “Tapi karena uang negara disedot ke offshore, guru tetap honorer, sekolah kekurangan tenaga berkualitas, anak-anak Indonesia kalah saing dengan anak-anak negara lain. Generasi emas Indonesia 2045 jadi generasi yang terampas haknya untuk mendapat pendidikan layak.”

4. Siklus Kemiskinan yang Langgeng:
“Anak-anak dari keluarga miskin tidak mendapat pendidikan berkualitas karena gurunya stress mikirin gaji, akhirnya mereka tumbuh jadi generasi yang mudah dimanipulasi, mudah korup, dan siklus pencurian uang negara berlanjut ke generasi berikutnya.”

Perlawanan Balik: Sistem Menyerang

Tiba-tiba, semua layar di ruangan Pitung mati bersamaan. Lampu kedip-kedip, lalu menyala kembali. Di layar utama muncul pesan:

“WE KNOW YOU HAVE THE FILES. DELETE EVERYTHING IN 24 HOURS OR FACE THE CONSEQUENCES. THIS IS YOUR FINAL WARNING.”

“Gawat,” gumam Pitung sambil dengan cepat mengaktifkan backup systems. “Mereka sudah mendeteksi bahwa kita punya data whistleblower.”

Kabayan berdiri waspada. “Pitung, sekarang kita resmi jadi target. Ini bukan lagi soal investigasi, tapi bertahan hidup.”

Nyi Iteung dengan suara bergetar berkata, “Pitung, saya takut. Tapi kalau kita tidak melakukan apa-apa, akan ada berapa generasi yang akan hidup dalam kemiskinan karena uang bangsa terus dijarah?”

Keputusan Terakhir: All or Nothing

Pitung menatap kedua temannya, kemudian ke data triliunan rupiah yang masih terpampang di backup screen.

“Kang, Nyi,” katanya dengan suara tenang tapi penuh tekad, “data ini akan saya rilis ke seluruh dunia dalam 6 jam. Ke media internasional, institusi akademis, jaringan antikorupsi, dan pejabat pemerintah yang bersih.”

“Strategi distributed information warfare. Kalau data sudah tersebar ke ratusan tempat, mereka tidak bisa silence semua orang.”

Dia mulai mengetik dengan cepat, mempersiapkan automated distribution systems.

“US$6,5 miliar per tahun, Rp 98 triliun, 1,95 juta guru honorer yang bisa diangkat PNS — angka-angka ini harus diketahui semua orang Indonesia. Mereka berhak tahu berapa besar kesempatan guru-guru honorer untuk hidup layak yang hilang setiap harinya karena uang negara dicuri.”

Epilog: The Data is Out

6 jam kemudian, data tentang trade misinvoicing Indonesia mulai tersebar di berbagai platform internasional. Reuters, Bloomberg, Financial Times, Al Jazeera, dan puluhan media global mulai memberitakan scandal triliunan rupiah yang sistematis.

Academic researchers di Harvard, Oxford, dan berbagai universitas top dunia mulai melakukan verification terhadap data tersebut. Anti-corruption NGOs internasional mulai pressure pemerintah Indonesia dan negara-negara safe haven untuk bertindak.

Yang paling penting: rakyat Indonesia mulai sadar bahwa mereka tidak miskin karena tidak punya sumber daya, tapi karena sumber daya mereka disedot keluar negeri melalui sistem perdagangan internasional yang dimanipulasi. Dan yang lebih tragis: 1,95 juta guru honorer yang seharusnya bisa hidup layak dan mendidik generasi emas Indonesia, terpaksa tetap berjuang dengan gaji pas-pasan karena triliunan rupiah “berlibur” di rekening offshore.

Phone Pitung berdering. Kali ini dari nomor internasional.

“Mr. Pitung?” Suara dengan aksen American. “This is Sarah Johnson from Global Financial Integrity. We’ve been analyzing the data you released. This is groundbreaking. We want to collaborate with you for a comprehensive investigation.”

Pitung tersenyum—senyum pertama dalam berminggu-minggu.

“Ms. Johnson, Indonesia is ready to fight back. We have 280 million people who deserve to know where their wealth is going.”

Di luar jendela, Jakarta mulai bergerak dengan aktivitas pagi hari. Tapi untuk pertama kalinya, ada harapan bahwa triliunan rupiah yang mengalir keluar negeri setiap tahunnya bisa dihentikan, dan 1,95 juta guru honorer Indonesia akhirnya bisa mendapat keadilan sosial yang dijanjikan Pancasila.

US$6,5 miliar per tahun. Rp 98 triliun per tahun. 1,95 juta guru honorer yang bisa diangkat PNS.

Angka-angka itu kini bukan lagi rahasia.

“Trade-Based Money Laundering bukan sekadar pencurian uang—ini adalah pencurian masa depan dan penghianatan terhadap Pancasila sila kelima. Setiap dollar yang ‘hilang’ melalui trade misinvoicing adalah guru honorer yang tidak bisa diangkat PNS, anak bangsa yang tidak mendapat pendidikan layak, dan generasi yang terampas haknya atas keadilan sosial. Indonesia kehilangan US$6,5 miliar per tahun—setara dengan kesempatan mengangkat 1,95 juta guru honorer menjadi PNS—bukan karena tidak punya kekayaan, tapi karena sistem perdagangan internasional dimanipulasi untuk menguras devisa bangsa sambil menggadaikan masa depan pendidikan nasional. Saatnya dunia tahu kebenaran ini.”

*) Muhammad Pitung, Economic Data Analyst & Digital Transparency Advocate

Catatan: Nama dan rincian spesifik perusahaan telah disamarkan untuk melindungi penyelidikan yang sedang berlangsung sambil mempertahankan akurasi data faktual dari sumber resmi.