Editor Indonesia, Jakarta – Nasib rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran (AGW) yang telah berdiri selama 52 tahun di Solo, Jawa Tengah, kini berada di ujung tanduk. Abai mencantumkan label nonhalal pada menu mereka, telah memicu gelombang kekecewaan dan tuntutan hukum dari berbagai pihak.
Selama lebih dari lima dekade, tepatnya sejak tahun 1973, AGW dikenal sebagai salah satu ikon kuliner Kota Solo. Namun, kepercayaan yang telah dibangun puluhan tahun itu kini luntur akibat praktik yang dinilai merugikan konsumen, khususnya umat Islam. Ketidakjelasan informasi mengenai status kehalalan menu, baik di gerai fisik maupun platform daring, membuat banyak pelanggan merasa tertipu.
Gelombang kekecewaan publik tercermin dalam ulasan negatif di Google Review AGW. Seorang karyawan AGW bahkan membenarkan bahwa label nonhalal baru dipasang setelah isu ini viral di media sosial. Pengakuan ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik ketidakjujuran yang disengaja oleh pihak pengelola.
Muhammadiyah Desak Penegakan Hukum
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui ketuanya, Anwar Abbas, dengan tegas mendesak aparat penegak hukum untuk memproses kasus ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Anwar Abbas menyatakan bahwa tindakan AGW jelas melanggar Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang bertujuan melindungi hak-hak konsumen, terutama umat Islam dalam mengonsumsi produk halal.
“Maka, pihak penegak hukum harus memproses kasus Ayam Goreng Widuran tersebut sebagaimana mestinya,” tegas Anwar Abbas dalam keterangan resminya (26/5/2025).
Lebih lanjut, Anwar Abbas menilai bahwa alasan ketidaktahuan pengelola terhadap peraturan tidak dapat dijadikan pembenaran untuk lepas dari tanggung jawab hukum.
“Ketidaktahuan pelaku terhadap hukum tidak dapat menjadi alasan untuk membebaskan seseorang dari tanggung jawab hukum,” ujarnya.
Pihaknya menduga ada unsur kesengajaan mengingat restoran tersebut telah beroperasi selama puluhan tahun tanpa memberikan informasi yang jelas terkait menu nonhalal.
“Kami sangat menyayangkan sikap dari pihak pengelola restoran karena mereka sudah berjualan 52 tahun lamanya, tapi tidak membuat keterangan yang secara eksplisit mencantumkan status tidak halal di outlet maupun pada platform daring mereka,” imbuhnya.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh. Ia menilai kasus AGW berpotensi merusak citra Kota Solo sebagai kota yang religius dan inklusif. Menurutnya, tindakan tegas secara administratif maupun hukum diperlukan untuk mencegah dampak yang lebih luas.
“Kalau tidak dilakukan langkah cepat, bisa merusak Kota Solo yang religius dan inklusif. Kasus Widuran ini contoh pelaku usaha yang culas dan tidak jujur yang bisa merusak reputasi Kota Solo,” kata Ni’am dalam keterangannya (26/5/2025).
Ni’am juga menyoroti potensi kerugian bagi pelaku usaha lain di Solo akibat menurunnya kepercayaan publik terhadap jaminan kehalalan produk makanan.
“Berdampak menurunkan jumlah wisatawan karena rasa tidak aman terhadap menu makanan di Solo,” jelasnya.
MUI mendesak pemerintah daerah untuk mengambil tindakan tegas dan tidak mengabaikan kasus ini demi menjaga reputasi Kota Solo dan melindungi konsumen.
“Aparat pemerintah harus melakukan langkah tegas, tidak boleh abai, untuk menanggapi kasus tersebut,” pungkasnya. (Frd)
Baca Juga: 52 tahun Beroperasi, Ayam Goreng Widuran Solo Ternyata Gunakan Bahan Nonhalal