Ekonomi

Bahlil Lahadalia Dinilai Ngawur! Kebijakan Hilirisasi DME Berpotensi Rugikan Indonesia Triliunan Rupiah

×

Bahlil Lahadalia Dinilai Ngawur! Kebijakan Hilirisasi DME Berpotensi Rugikan Indonesia Triliunan Rupiah

Sebarkan artikel ini
Skandal Tambang Nikel Raja Ampat: Menteri ESDM Bahlil Diduga Tutupi Fakta
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia/dok. EI-tangkapan layar

Editor Indonesia, Jakarta – Pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait proyek hilirisasi Dimethyl Ether (DME) berbasis batubara senilai USD 11 miliar atau sekitar Rp 181,5 triliun yang akan dibiayai pemerintah melalui Danantara, memicu tanggapan tajam dari Simon F. Sembiring, mantan Dirjen Minerba sekaligus konseptor Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Simon menilai pernyataan Bahlil ngawur dan tidak memiliki dasar kuat serta menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap regulasi yang ada.

“Seharusnya dia membaca amanat UU Minerba yang mewajibkan pemegang IUPK untuk mengembangkan dan memanfaatkan batubara di dalam negeri. Perpanjangan izin dari PKP2B ke IUPK seharusnya tetap mengikat perusahaan untuk hilirisasi, bukan justru dialihkan menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini jelas aneh!” ujar Simon dalam sebuah diskusi di grup WhatsApp Mineral Merdeka, Kamis (6/3/2025).

Lebih lanjut, Simon menyoroti bahwa perusahaan eks-PKP2B yang kini berstatus IUPK seharusnya dikenai sanksi jika tidak memenuhi kewajiban hilirisasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—mereka tetap mengekspor batubara dengan harga pasar tinggi.

Oligarki dan Melemahnya Regulasi

Simon berpendapat bahwa Indonesia semakin dikendalikan oleh kepentingan oligarki. Ia mengusulkan agar UU Minerba dikembalikan ke versi tahun 2009 dengan revisi pada UU Otonomi Daerah, yang dinilainya lebih berpihak kepada kepentingan nasional.

“Dengan begitu, peran BUMN bisa diperkuat untuk mengontrol sektor pertambangan, sementara pemerintah bisa lebih fokus pada kebijakan strategis lainnya,” tegasnya.

Sejalan dengan Simon, mantan Menteri Lingkungan Hidup A. Sonny Keraf menilai UU Minerba 2009 sebagai salah satu regulasi terbaik yang pernah dibuat DPR RI.

“UU tersebut membatasi luas lahan konsesi, mengatur masa berlaku izin, serta memastikan bahwa sumber daya alam dikelola untuk kemakmuran rakyat, bukan kepentingan segelintir pengusaha,” ungkap Sonny.

Kewajiban Hilirisasi Dihilangkan

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, turut mengkritik kebijakan pemerintah yang menghapus kewajiban hilirisasi bagi perusahaan tambang yang mendapatkan perpanjangan izin. Ia menyoroti kasus Arutmin dan Kaltim Prima Coal (KPC), yang seharusnya diwajibkan mendukung industri methanol dalam negeri, tetapi justru tetap mengekspor batubara mereka.

“Seharusnya Kementerian ESDM sejak awal sudah menyiapkan skema denda bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban hilirisasi. Tapi kenyataannya, mereka malah menikmati keuntungan besar dari ekspor, sementara kewajibannya diabaikan,” kata Yusri menyesalkan.

Menurutnya, jika kebijakan ini dibiarkan, perusahaan tambang hanya akan menikmati perpanjangan izin tanpa ada kontribusi nyata bagi industri dalam negeri.

“Ini kebijakan yang gila! Bukannya membangun industri nasional, malah memperkaya segelintir pihak,” pungkas Yusri. (Didi)