Opini

Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan, dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

×

Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan, dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

Sebarkan artikel ini
Putusan MK dan Ancaman Kedaulatan Rakyat: Melawan atau Melapor?
Sugiyanto emik/dok.Editor Indonesia-fauzi
Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

Oleh: Sugiyanto (SGY-Emik)*

Tanggal 22 Juni 2025 lalu, saat Kota Jakarta memperingati ulang tahunnya yang ke-498, Gubernur Pramono Anung meluncurkan sebuah langkah penting: rebranding Bank DKI menjadi Bank Jakarta. Di atas panggung Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, keputusan itu diumumkan tidak sebagai sekadar penggantian nama, melainkan sebagai simbol dari transformasi besar.

Mungkin banyak yang belum menyadari bahwa rebranding ini lahir dari sebuah krisis. Krisis yang bermula dari gangguan sistem layanan Bank DKI pada malam takbiran Idulfitri 1446 H dan beberapa hari setelahnya. Gangguan yang bukan hanya menghambat transaksi, tetapi mengusik rasa aman dan kepercayaan publik—aset paling berharga dalam dunia perbankan.

Sebagai warga yang mengikuti perkembangan ini dengan cermat, saya meyakini bahwa Gubernur Pramono tidak sekadar memoles tampilan luar. Ia memahami bahwa reputasi yang rusak butuh waktu dan strategi untuk diperbaiki. Maka, dimulailah babak baru: Bank Jakarta.

Rebranding sebagai Strategi Krisis

Dalam dunia bisnis, kita belajar bahwa rebranding tidak selalu muncul dari euforia kesuksesan. Justru, sering kali, ia adalah respons dari kegagalan atau tekanan besar. Di sinilah kejelian seorang pemimpin diuji—mampukah ia menjadikan krisis sebagai momentum perubahan?

Pramono Anung tampaknya menjawab tantangan itu dengan jernih. Rebranding ini tidak berdiri sendiri. Ia dibarengi dengan langkah konkrit, seperti penonaktifan Direktur IT Bank DKI dan evaluasi menyeluruh terhadap manajemen. Lebih dari itu, Bank Jakarta juga disiapkan untuk melantai di bursa saham melalui IPO pada 2026—sebuah loncatan besar menuju transparansi dan daya saing.

Saya sempat bergumam dalam hati: “Jakarta beruntung memiliki pemimpin yang paham manajemen krisis dan ekuitas merek.” Dalam konteks krisis perbankan, kepercayaan adalah mata uang yang sesungguhnya. Tanpa itu, neraca sehat pun tak berarti apa-apa.

Sejarah yang Tak Boleh Terulang

Kita pernah mengalami ini sebelumnya. Tahun 1997–1998, krisis moneter menghantam Indonesia. Rush money terjadi. Nasabah panik, bank kolaps. BPPN dibentuk. BLBI digelontorkan. Namun skandal muncul, kepercayaan makin retak. Kasus Bank Century mengingatkan kita bahwa krisis keuangan bukan sekadar angka, melainkan juga soal persepsi dan legitimasi kebijakan.

Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

Semua itu menjadi pelajaran penting. Ketika masalah muncul, respons harus cepat, komunikatif, dan tegas. Karena dalam dunia perbankan, “bank tidak bangkrut karena uang, tapi karena hilangnya kepercayaan”.

Saya jadi teringat beberapa narasi yang kerap muncul saat krisis:

  • “Saat nasabah panik, bank tak lagi berdaya.”
  • “Bank runtuh bukan karena uangnya hilang, tapi karena keyakinan goyah.”
  • “Bisik-bisik di antrean bisa menjadi awal kehancuran.”

Narasi ini bukan sekadar kalimat dramatis. Ia cerminan betapa rapuhnya sistem jika kepercayaan publik tidak dijaga.

Menuju Jakarta Global 2029

Namun krisis ini juga membuka peluang. Rebranding Bank DKI menjadi Bank Jakarta menjadi bagian dari visi besar: menjadikan Jakarta sebagai kota global. Gubernur Pramono menargetkan agar Jakarta masuk dalam 50 besar kota dunia pada tahun 2029—naik dari posisi ke-74 saat ini berdasarkan Global City Index 2024.

Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

Survei Litbang Kompas pada pertengahan Juni 2025 menunjukkan bahwa 87,9 persen warga Jakarta mendukung arah pembangunan ini. Ada optimisme, meski Jakarta tak lagi menyandang status ibu kota negara. Dan Bank Jakarta, sebagai representasi BUMD unggulan, kini menjadi simbol transformasi dan kebangkitan.

Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

Tentu, jalan ke sana tidak mudah. Ketimpangan sosial masih terasa. Data Litbang Kompas mencatat bahwa hanya 33,3 persen masyarakat yang puas terhadap upaya pengentasan kesenjangan ekonomi.

Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

Namun saya percaya, jika arah kebijakan tetap konsisten dan transparan, angka itu bisa dibalik. Kita bisa melihat 66,7 persen masyarakat yang puas, bukan karena retorika, tapi karena hidup mereka benar-benar membaik.

Penutup: Jakarta Butuh Kepercayaan, Bukan Sekadar Infrastruktur

Kota global bukanlah kota gedung tinggi, lampu gemerlap, dan jalan tol bertingkat. Kota global adalah kota yang menyejahterakan rakyatnya. Yang layanannya bisa dipercaya. Yang ekonominya tangguh dan inklusif. Yang institusi perbankannya mampu memberi rasa aman, bukan rasa was-was.

Bank Jakarta, Krisis Kepercayaan dan Jalan Panjang Menuju Kota Global

Bank Jakarta hari ini adalah cerminan harapan itu. Harapan bahwa dari sebuah krisis, bisa lahir kekuatan baru.

Dan Gubernur Pramono Anung, dalam pandangan saya, tengah memainkan peran kunci dalam babak penting sejarah Jakarta. Bukan hanya sebagai pemimpin administratif, tapi sebagai sosok yang memahami esensi kepemimpinan: mengubah masalah menjadi momentum, membangun kepercayaan sebagai pondasi masa depan. (*)

*) Pengamat kebijakan publik Jakarta.