Opini

Draft RUU Penyiaran Mengapa Mematikan Kebebasan Pers?

×

Draft RUU Penyiaran Mengapa Mematikan Kebebasan Pers?

Sebarkan artikel ini
Draft RUU Penyiaran Mengapa Mematikan Kebebasan Pers?
Ilustrasi/dok.@poliklitik

Penulis: Dr. KRMT Roy Suryo*

Draft RUU Penyiaran mengusik masyarakat pers, sebab selama ini Kebebasan Pers di Indonesia sudah dirasakan nyaman dan “on the track” dengan UU Pers No. 40/1999 yg ditetapkan pada 23 September 1999. UU tersebut dirasakan sudah sesuai jiwa dan semangat reformasi. Sontak muncul usulan dalam Draft RUU Penyiaran yang sedang dibahasg di Komisi 1 dan BaLeg (Badan Legislasi) DPR-RI. Dimana beberapa pasal dalam draft RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers, misalnya ada larangan menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi, sebagaimana dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) huruf (c) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu.

Kenapa hal di atas dipertanyakan? Karena itu tidak sesuai dengan aturan sebelumnya yang sudah berjalan 25 tahun (UU Pers No, 40/1999). UU ini mengatur sangat baik ihwal kerja da etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. Kalau sekarang mendadak muncul usulan mengatur soal khusus ini (dengan KPI/Komisi Penyiaran Indonesia) bisa diprediksikan akan ada pasal-pasal tiitipan yang akan menghambat Kebebasan Pers. Termasuk juga Penyelesaian Sengketa Pers yang selama ini ditangani oleh Dewan Pers, dalam RUU Penyiaran di Pasal 42 dialihkan ke KPI.

Anehnya pada konsideran draft RUU Penyiaran sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers yang sudah ada sebelumnya, sehingga dalam sistematika penulisan draft RUU akan berpotensi tumpang tindih sekaligus ketidakpastian hukum yang diaturnya.

Sebagai mantan Anggota DPR-RI di Komisi 1 yang menangani juga soal Pers dan Kominfo, bahkan sempat juga menjadi Anggota BaLeg DPR-RI selama sekitar setahun, mulai 2016-2017, saya sangat bisa memahami kejanggalan yang dirasakan oleh kalangan Pers.

Kendati kejanggalan kalangan pers dibantah oleh beberapa Anggota Komisi 1 DPR RI dan menyatakan Legislatif tak memiliki maksud atau tujuan melemahkan keberadaan pers dan masih membuka ruang kepada insan pers, masyarakat sipil dan para pegiat untuk membantu menyempurnakan revisi RUU Penyiaran tersebut.

Jadi wajar bilamana masyarakat sekarang memang harus mewaspadai ketidaksinkronan antara statemen (ucapan) anggota DPR dengan hasil akhirnya. Karena banyak contoh terkait ketidaksinkrinan itu, misalnya dalam RUU Cilaka (cipta lapangan kerja) yang menjadi UU Ciptaker sekarang, banyak sekali terjadi ketidaksesuaian antara ucapan/statemen dengan pelaksanaan dan sangat merugikan masyarakat.

Mengapa Jurnalisme Investigasi ini menarik? Karena selain di media cetak dan online, Visualisasi tayangan jenis ini di media elektronik menempati posisi tersendiri bagi masyarakat. Sejak 1989 saat RCTI dan SCTV di tahun 1990 memiliki program investigasi langsung diminati masyarakat. Sejarah mencatat, banyak nama acara unggulan stasiun-stasiun TV yang telah akrab disanubari masyarakat, mulai dari SiGi (SCTV), BuSer (SCTV), Metro Realitas (MetroTV), Telusur (TVone), Kupas Tuntas (TV7), Berkas Kompas (KompasTV). Bahkan program-program yang menggunakan nama Anchornya sendiri : Aiman (KompasTV), AFD Now / Alfito Deanova (CNN), Rosi (KompasTV), Ni Luh (KompasTV), Rully Files (CNN) dan sebagainya

Tidak jarang bahkan pembuatan liputan Jurnalisme investigatif beresiko kepada Jurnalis/reporternya, misalnya yang barusan dialami oleh salahsatu Jurnalis senior dari sebuah TV Swasta saat Pemilu 2024 kemarin. Meski sempat diproses dan berjalan kasusnya, Alhamdulillah dalam perkembangannya Pelapor kemudian mencabut pengaduannya, meski sudah sempat dilakukan beberapa kali pemanggilan kepada sang jurnalis bahkan penyitaan barang bukti dari yang bersangkutan. Dalam kasus itu sebenarnya UU Pers bisa digunakan untuk menjembatani bilamana terjadi ketidaksesuaian pendapat antara satu pihak dengan pihak lain.

Oleh karenanya bilamana mendatang dalam RUU Penyiaran justru akan diberikan tambahan kepada KPI agar “cawe-cawe” dalam urusan materi Jurnalistik maka dikhawatirkan malah bisa terjadi saling sengkarut alias tumpang tindih kepentingan dari dua lembaga yang sudah memiliki tupoksinya, yakni Dewan Pers dan KPI. Bisa jadi justru masalahnya tidak cepat selesai sebagaimana penyelesaian sistem Mediasi oleh Dewan Pers selama ini, namun berbuntut panjang karena melibatkan banyak pihak dan metode penyelesaiannya berbelit karena perbedaan mekanisme penyelesaiannya.

Memang revisi atau pembuatan UU merupakan suatu hal yang diperlukan bilamana UU eksisting dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakatnya, misalnya Revisi UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No. 11/2008 menjadi UU No 19/2016 dan terakhir sekarang menjadi UU No. 01/2024.

Sementara ada juga UU yang sudah ketinggalan jaman karena teknologinya banyak berkembang, yakni UU Telekomunikasi No. 3/1989 yang direvisi terakhirnya adalah UU No. 36/1999 alias sudah berusia 25 tahun dari sekarang. Padahal dunia Telekomunikasi sudah sangat berkembang dibandingkan tahun awal Millenium tahun 2000 lalu.

Kesimpulannya, kalau UU memang sudah saatnya direvisi karena sudah tidak sesuai jamannya lagi itu lumrah dan tidak akan menimbulkan pertanyaan. Namun jika ada UU yang masih berjalan baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat mendadak akan diganti atau ditambahkan hal-hal yang justru menarik mundur yang mengekang demokrasi, hal ini pantas menjadi pertanyaan besar: Ada apa dibalik itu semua? Mengapa justru terkesan belakangan ini nilai-nilai reformasi makin jauh dari harapan, demokrasi dikebiri dan malah Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang dulu ditentang kini makin menjadi-jadi? Siapa lagi yang bisa mengkritisi kalau Pers yang Sehat dan Bertanggungjawab malah dibungkam? Miris, benar-benar Indonesia Emas 2045 akan menjadi Indonesia Cemas kalau demikian. (EI)

* Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB – Mantan Anggota DPR-RI Komisi-1 2 periode (2009-2019) dan Anggota Badan Legisllasi DPR-RI 2016-2017