Opini

Era Digital dan Krisis Global: Antara Inovasi, Disinformasi, dan Tantangan Ekonomi

×

Era Digital dan Krisis Global: Antara Inovasi, Disinformasi, dan Tantangan Ekonomi

Sebarkan artikel ini
Era Digital dan Krisis Global: Antara Inovasi, Disinformasi, dan Tantangan Ekonomi
ilustrasi/dok.ai
Era Digital dan Krisis Global: Antara Inovasi, Disinformasi, dan Tantangan Ekonomi

Setiap zaman memiliki tanda dan krisisnya. Jika abad industri ditandai mesin uap dan perang besar, maka epoh digital ditandai arus data tanpa henti, media sosial yang mendominasi, dan kecerdasan buatan yang memikat sekaligus menyesatkan. Pertanyaannya: apakah dunia sedang menuju masa keemasan, atau justru memasuki krisis global yang suram?

Oleh: Arnold Mamesah (Afiliasi; MEBNI – IPKC – The HUD Institute)

Tidak ada satu pun individu maupun negara yang benar-benar bebas dari arus digital. Hampir semua aspek kehidupan kini dikaitkan dengan atribut digital, mulai dari media sosial, pesan instan, hingga kecerdasan buatan (AI). Namun, di balik manfaatnya, era digital juga memunculkan paradoks baru berupa banjir informasi, disinformasi, hingga potensi krisis global.

Media Sosial, Big Data, dan Informasi Sesat

Media sosial menjadi ruang paling dominan dalam kehidupan masyarakat digital. Pesan instan memungkinkan informasi menyebar begitu cepat, tetapi sekaligus membuka ruang luas bagi disinformasi—informasi keliru atau menyesatkan dengan berbagai motif.

Selain itu, fenomena Big Data semakin menguat. Data dari beragam sumber diolah untuk menghasilkan pengetahuan yang kemudian menjadi dasar pengambilan keputusan. Namun, banyak pihak sering kali gagal membedakan antara data mentah, informasi, pengetahuan, dan kebijakan. Padahal, piramida Data–Informasi–Pengetahuan–Kebijakan (DIPK) penting untuk dipahami agar keputusan tidak diambil secara prematur atau keliru.

Artificial Intelligence dan Tantangan GIGO

Kecerdasan buatan (AI) kini dianggap mampu menggantikan kemampuan manusia dalam memproses masalah kompleks. Namun, AI bekerja dengan algoritma yang mengandalkan kualitas data yang masuk. Prinsip “Garbage In, Garbage Out” (GIGO) berlaku: jika data masukan tidak valid, hasilnya pun bisa menyesatkan. Alih-alih meningkatkan kualitas berpikir manusia, ketergantungan berlebihan pada AI justru berisiko menurunkan daya kritis.

Realitas Ekonomi Digital

Sejak dekade kedua abad ke-21, platform digital berkembang pesat dalam perdagangan barang dan jasa. Efisiensi dan produktivitas meningkat, tetapi fakta menunjukkan ekonomi global maupun Indonesia tidak mengalami lonjakan signifikan. Tren pertumbuhan ekonomi cenderung datar, bahkan menurun.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah digitalisasi benar-benar mampu mendongkrak kemakmuran? Ataukah justru memicu persaingan tidak sehat, perang harga, dan ketimpangan pendapatan? Jawabannya masih kompleks. Yang jelas, tata kelola digital masih minim. Para pelaku cenderung independen, sementara regulasi pemerintah belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan yang ada.

Tantangan: Digilisasi, Digikrasi, Digikualitas

Agar era digital membawa manfaat merata, tiga hal perlu diperhatikan:

  1. Digilisasi – perubahan perilaku, sistem nilai, dan peradaban digital dalam masyarakat.

  2. Digikrasi – tata kelola kekuasaan di era digital yang tidak lagi berbasis partisanship, melainkan pengaruh komunitas dan efek bandwagon di media sosial.

  3. Digikualitas – kesetaraan akses, peluang, dan kualitas hidup masyarakat di tengah transformasi digital.

Era urbanisasi yang diperkirakan akan mencakup 70% populasi global semakin memperkuat konektivitas digital. Namun, kesenjangan akses dan kemampuan adaptasi bisa melahirkan ketidakadilan baru, termasuk kemiskinan digital.

Krisis yang Mengintai

Penulis  mengingatkan bahwa era digital tidak lepas dari ancaman krisis dekade. Beberapa prediksi yang perlu diwaspadai antara lain:

  • Ketidakpastian ekonomi global (fenomena VUCA).

  • Risiko Pandemi Disease-X dari mutasi virus baru.

  • Teka-teki transisi energi menuju Net Zero Emission.

  • Krisis pangan, energi, dan air akibat perubahan iklim.

  • Tekanan perdagangan global dan spiral deflasi.

  • Gejolak nilai tukar, saham, hingga suku bunga.

  • Ambruknya startup akibat persaingan ketat tanpa diferensiasi.

  • Ancaman kejahatan siber, terutama di sektor fintech.

  • Gangguan kesehatan mental dan penyakit psikosomatis karena gaya hidup digital.

Dunia yang “Dismal”

Era digital memang tak bisa dihindari. Namun, dari sejumlah indikator yang ada, sulit berharap era ini otomatis membawa dunia yang lebih baik. Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan bijak, realitas digital justru berpotensi melahirkan “Dismal World”—dunia yang penuh keprihatinan, bukan kegembiraan. (#)