Lonjakan sarjana dan profesional berpengalaman yang terpaksa melamar pekerjaan tingkat pemula kini menjadi wajah nyata krisis lapangan kerja di Indonesia. Fenomena overqualified bukan sekadar gejala ekonomi—ia adalah cermin ketimpangan antara pendidikan tinggi dan dunia industri.
Editor Indonesia, Jakarta — Fenomena pelamar overqualified atau berlebihan kualifikasi kini mendominasi pasar kerja tingkat pemula (entry level) di Indonesia. Gejala ini mencerminkan ketidakseimbangan serius antara pertumbuhan kesempatan kerja dan meningkatnya jumlah lulusan berpendidikan tinggi yang terus bertambah setiap tahun.
Banyak pelamar bergelar sarjana, magister, bahkan doktoral terpaksa melamar posisi pemula karena keterbatasan lapangan kerja yang sepadan dengan kompetensi mereka. Kondisi industri yang stagnan serta tekanan ekonomi membuat mereka rela menerima pekerjaan di bawah kapasitasnya—hanya demi memperoleh penghasilan.
“Fenomena pelamar overqualified ini sebenarnya alarm bagi pemerintah dan dunia industri untuk mengevaluasi arah kebijakan ketenagakerjaan nasional. Mereka ini aset produktif yang belum dimanfaatkan optimal,” ujar Pemerhati Ketenagakerjaan Dani Satria melalui siaran pers dikutip di Jakarta, Kamis (6/11/2025)
Ketimpangan Dunia Pendidikan dan Pasar Kerja
Menurut Dani, situasi tersebut menandakan adanya jurang antara sistem pendidikan tinggi dengan kebutuhan nyata dunia kerja. Di satu sisi, lulusan baru berlimpah; di sisi lain, peluang kerja yang sesuai kualifikasi masih terbatas. Akibatnya, kompetisi di level pemula semakin ketat karena banyak pelamar dengan pengalaman dan kemampuan jauh di atas rata-rata ikut bersaing.
Paradoks ini menunjukkan bahwa kualifikasi tinggi tidak selalu menjadi jaminan diterimanya pekerjaan yang layak. “Pemerintah perlu memberikan solusi konkret untuk mengatasi membeludaknya pelamar kerja overqualified. Program Magang Nasional bisa diperluas agar menjangkau lebih banyak lulusan baru,” tambah Dani.
Solusi: Hilirisasi dan Kewirausahaan
Dani menilai hilirisasi sektor industri dan penciptaan ekosistem kewirausahaan menjadi kunci agar tenaga kerja terampil tidak terus terjebak di posisi pemula. Selain itu, perusahaan juga perlu membuka diri terhadap pelamar overqualified, selama mereka bersedia dengan skema gaji entry level.
“Perusahaan seharusnya tidak ragu merekrut pelamar overqualified asalkan mereka cocok dengan kultur dan kompensasi yang ditawarkan. Justru dengan pelatihan yang tepat, tenaga kerja seperti ini bisa menjadi aset produktif,” katanya.
Sebagai langkah jangka panjang, Dani menegaskan bahwa kawasan industri harus tetap menjadi ujung tombak penciptaan lapangan kerja baru yang lebih variatif dan berjenjang. Dengan demikian, tenaga kerja berpendidikan tinggi tidak lagi dipaksa turun level hanya demi bertahan hidup. (RO/Did)
Baca Juga:Lonjakan Pelamar Kerja di Cianjur: Cerminan Krisis Lapangan Kerja Daerah










