Editor Indonesia, Jakarta – Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) mendorong pemerintah agar segera mempercepat penerbitan berbagai kebijakan non-tariff measure (NTM) atau non-tariff barrier (NTB) sebagai langkah antisipatif terhadap kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal dari Amerika Serikat (AS).
Sekretaris Jenderal Gabel, Daniel Suhardiman, menjelaskan bahwa sejumlah kebijakan yang perlu segera direalisasikan antara lain revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, penetapan pelabuhan sebagai entry point, serta perluasan kewajiban penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
“Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan bagian dari manajemen risiko yang sangat mendesak untuk melindungi pasar domestik. Ini juga merupakan usulan kami yang telah disampaikan sebelumnya dan perlu segera diimplementasikan,” ujar Daniel dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (5/4/2025).
Daniel menambahkan, Indonesia berpotensi menjadi target ekspor dari negara-negara yang terdampak oleh kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan AS. Hal ini disebabkan oleh besarnya pasar domestik Indonesia dan daya beli masyarakat yang relatif tinggi.
Oleh karena itu, Gabel mendesak pemerintah untuk memperkuat perlindungan terhadap industri dalam negeri agar tidak dibanjiri produk impor, sekaligus memberikan dukungan bagi pelaku industri lokal yang mengekspor ke AS.
“Gabel menegaskan pentingnya mempertahankan kebijakan TKDN dan tidak melonggarkannya sebagai respons terhadap kenaikan tarif impor AS. Kebijakan TKDN terbukti mampu mendorong permintaan terhadap produk manufaktur lokal, khususnya melalui belanja pemerintah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Daniel menyampaikan bahwa kebijakan TKDN juga telah memberikan kepastian bagi investasi, serta menjadi daya tarik bagi masuknya investasi baru ke Indonesia. Selain itu, kebijakan ini berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja setiap tahunnya.
“Pelonggaran terhadap TKDN justru berisiko mengurangi kesempatan kerja dan menurunkan kepercayaan investor,” tambahnya.
Di sisi lain, Gabel juga mendorong pemerintah agar merespons kebijakan tarif AS dengan tindakan serupa, termasuk melalui penetapan tarif.
Namun demikian, Daniel menekankan bahwa penerapan NTM atau NTB tidak harus selalu menjadi respons terhadap kebijakan negara lain.
“Kebijakan bea masuk impor dari AS sebenarnya tidak memiliki kaitan langsung dengan NTM atau NTB. Instrumen ini merupakan alat kebijakan yang lazim digunakan oleh banyak negara untuk menjaga kestabilan pasar domestiknya,” tandas Daniel.
Sebagai informasi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengumumkan kebijakan perdagangan yang lebih agresif melalui pemberlakuan tarif impor terhadap sejumlah negara yang mengalami surplus perdagangan dengan AS. Indonesia termasuk di antaranya, dengan dikenakan tarif impor baru hingga 32 persen. Kebijakan ini berkaitan dengan defisit perdagangan AS terhadap Indonesia, yang pada tahun 2024 tercatat mencapai 14,34 miliar dolar AS. (RO/Didi)












