Setiap November kita sibuk merayakan pahlawan, sementara makna keteladanan justru semakin menjauh dari mereka yang memegang kekuasaan.
Oleh: Taufik Tope Rendusara*
Setiap tahun, pemerintah memberi gelar “Pahlawan Nasional” kepada sejumlah tokoh. Niatnya baik: menghargai jasa mereka bagi bangsa. Tapi pertanyaannya, apakah penghargaan sejati seorang pahlawan diukur dari piagam dan gelar resmi negara?
Sejatinya, pahlawan tidak butuh gelar—mereka hidup dalam tindakan, bukan dalam seremoni. Mereka berjuang tanpa pamrih, bukan karena mengincar gelar kehormatan. Justru ketika gelar pahlawan diberikan secara rutin, bahkan kadang karena kepentingan politik atau daerah, makna “kepahlawanan” itu sendiri menjadi pudar.
Pemerintah sebaiknya berhenti sibuk memberi gelar, dan mulai sibuk meneladani. Bangsa ini tidak kekurangan pahlawan—yang kurang adalah keteladanan dalam kepemimpinan, kejujuran, dan keberanian menegakkan kebenaran. Pahlawan sejati hidup di hati rakyat: guru di pelosok, tenaga medis di daerah terpencil, relawan bencana, petani yang bertahan di tengah tanah terjepit industri. Mereka tak menunggu gelar, tapi terus bekerja.
Jadi, cukup sudah upacara dan penghargaan simbolik. Negara seharusnya belajar, bukan menilai siapa pahlawan. Karena pahlawan sejati tak pernah meminta diingat—mereka cukup memastikan bangsa ini tidak lupa berjuang.
*) Aktivis Jakarta

