Editor Indonesia, Konkep – PT Gema Kreasi Perdana (GKP) membantah tudingan yang menyebut perubahan warna pada Sungai Roko-Roko di Desa Sukarela Jaya, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), disebabkan oleh aktivitas pertambangan nikelnya.
“Sayangnya, informasi yang beredar tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Tidak ada perubahan warna di Sungai Roko-Roko, bahkan setelah curah hujan tinggi beberapa hari terakhir di Pulau Wawonii,” ungkap Badrus Soleh, Environment & Forestry Superintendent PT GKP, dalam keterangan tertulisnya yang dikirim ke redaksi editorindonesia.com, Kamis (12/6/2025).
Menurutnya, perusahaan telah menjalankan pengelolaan lingkungan secara terintegrasi, khususnya saat musim hujan. “Kami rutin melakukan treatment air dengan sistem injeksi agar air limpasan memenuhi baku mutu sesuai standar, seperti pH dan TSS. Monitoring pun dilakukan secara berkala di sejumlah titik,” jelasnya.
Sejak memulai operasional di Pulau Wawonii, lanjut Badrus, PT GKP berkomitmen menjaga keanekaragaman hayati dan menaati regulasi lingkungan secara ketat.
“Pengelolaan lingkungan kami lakukan secara serius. Mulai dari program reklamasi pasca-tambang, pemantauan biodiversitas, penambahan dan perluasan settling pond, penanaman mangrove, hingga pembibitan tanaman reklamasi,” paparnya.
Ia juga menyinggung penghargaan PROPER peringkat biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk tahun 2023–2024 sebagai bukti kepatuhan GKP terhadap kaidah lingkungan.
Langkah-langkah tersebut mendapat apresiasi dari pemerintah daerah. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Konawe Kepulauan, Rustam, menyebut pencapaian tersebut sebagai bentuk komitmen terhadap pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab.
“Kami berharap capaian ini menjadi motivasi bagi perusahaan untuk terus meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi, dan memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar,” ujar Rustam.
Ahli Hukum: Tambang di Pulau Kecil Diperbolehkan dengan Syarat
Di tengah polemik tambang di kawasan pulau kecil seperti Wawonii maupun Raja Ampat, pembahasan mengenai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) kembali mencuat.
Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum., menjelaskan bahwa aktivitas pertambangan di wilayah tersebut tidak otomatis dilarang, melainkan tunduk pada sejumlah persyaratan.
“Penafsiran terhadap Pasal 23 ayat 2 harus dilakukan secara harfiah. Kata ‘diprioritaskan’ berarti didahulukan, bukan satu-satunya yang dibolehkan. Jadi, pemanfaatan lain di luar yang diprioritaskan tetap dimungkinkan,” ujar Aan.
Ia menambahkan, pemanfaatan sumber daya alam di pulau kecil sah dilakukan asalkan tidak menimbulkan kerusakan secara teknis, ekologis, sosial, maupun budaya.
“Larangan dalam Pasal 35 huruf k bersifat kondisional, bukan mutlak. Sepanjang kegiatan tersebut tidak menimbulkan kerusakan atau pencemaran, serta tidak merugikan masyarakat, maka penambangan dimungkinkan secara hukum,” jelasnya.
Menurut Aan, tafsir tersebut sejalan dengan interpretasi pemerintah dalam pelaksanaan regulasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (RO)
Baca Juga: UU Larang Tambang di Pulau Kecil, Mengapa di Raja Ampat Berlaku di Wawonii Tidak?












