Opini

HAN 2024 Ditengah Banyak Gen Z Nganggur dan Hancurnya Masa Depan Bangsa di Era Jokowi

×

HAN 2024 Ditengah Banyak Gen Z Nganggur dan Hancurnya Masa Depan Bangsa di Era Jokowi

Sebarkan artikel ini
HAN 2024 Ditengah Banyak Gen Z Nganggur dan Hancurnya Masa Depan Bangsa di Era Jokowi

Oleh: Nanang Djamaludin

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2024 kali ini dibayangi banyaknya Gen Z Indonesia, sekitar 10 persen, yang nganggur, sekaligus hancurnya masa depan bangsa di bawah pemerintahan rezim Jokowi.

HAN 2024 yang dilangsungkan di Ibu Kota Jayapura Provinsi Papua ini diperingati jelang hari-hari terakhir lengsernya Jokowi pada 20 Oktober 2024 nanti sebagai presiden yang telah membuat harapan berjuta-juta anak Indonesia, terutama Gen Z, banyak yang tidak bekerja, alias nganggur, dan terpaku di sudut-sudut sejarah kehilangan masa depannya.

Terkait hal itu, bagaimana kita memaknai HAN 2024 kali ini ketika banyaknya Gen Z yang lahir tahun 1997-2012 yang nganggur, dan hancurnya masa depan bangsa di era Jokowi sepuluh tahun terakhir sejak 2014 hingga saat ini?

Usia Anak dan Gen Z

Antara usia anak dan Gen Z ini memang memiliki hubungan langsung. Sebab definisi anak, menurut UU Perlindungan Anak, sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sedangkan Gen Z adalah mereka yang lahir dari 1997- 2012, atau ada pula yang menyebut lahir 1995-2010.

Jadi, di HAN 2024 ini terdapat usia anak yang mana ia termasuk dalam Gen Z. Dan ada usia Gen Z yang tidak tergolong anak lagi, tetapi sudah dewasa, yakni usia 18 tahun ke atas.

Di bawah dari Gen Z tentu ada usia anak yang merupakan representasi dari Gen Alpha, yang lahir antara tahun 2013-2028, atau ada yang menyebutnya lahir tahun 2010-2025.

Dan anak-anak yang merayakan HAN 2024 kali ini terdiri dari sebagian anak-anak Gen Z dan seluruh Gen Alpha sebagai digital natives (pribumi digital).

Gen Z Pengangguran

Menurut Data BPS, sebanyak 9.896.019 jiwa dari Gen Z ternyata menganggur, atau “do nothing”, tidak melakukan sesuatu selain, mungkin, bermain games atau kegiatan-kegiatan tidak produktif lain.

Hal itu lantaran sebagian besar kebijakan-kebijakan rezim Jokowi selama 10 tahun terakhir ini, perlahan tapi pasti, telah menghapus harapan Gen Z atas keamanan dan kenyamanan dunia kerja setelah mereka bersekolah.

Seperti misalnya, pertama, Jokowi terus saja melahirkan kebijakan-kebijakan yang menjadikan pendidikan sebagai lahan untuk dikomersialisasi, sehingga pendidikan pun menjadi komoditas yang mahal dan sulit dijangkau kalangan mayoritas masyarakat menengah-bawah.

Kedua, Jokowi telah melahirkan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dimana UU itu menjadi biang kerok permasalahan dunia kerja. Anak-anak yang lulus sekolah atau lulus kuliah menjadi putus harapan untuk bekerja atau melamar kerja.

Karena toh nanti kalau pun diterima kerja di sebuah perusahaan, maka ia tidak bakalan menjadi karyawan tetap, palingan banter juga dikontrak dengan gaji seadanya.

Ketiga, proses deindustrialisasi yang terjadi sebelum era Jokowi, terus saja dilangsungkan oleh Jokowi, dengan membuat kebijakan yang lebih mengedepankan segelintir saja para konglomerat super kaya untuk menggarap sektor-sektor ekstraktif yang padat modal dan merusak lingkungan, bukan padat karya. Tentu saja ini menutup peluang Gen Z untuk terlibat dalam pekerjaan itu.

Keempat, kebijakan Program Strategis Nasional (PSN) dibawah rezim Jokowi ternyata untuk menambah kekayaan orang-orang yang sudah super kaya, sementara penduduk setempat yang kere bin miskin, lengkap dengan anak-anaknya, harus terusir dari tanahnya. Jadilah anak-anak itu melongo terpaku di lorong-lorong sejarah.

Kelima, meskipun beberapa produk perundangan-undangan terus saja dibuat oleh rezim Jokowi untuk melindungi sektor perlindungan anak, tetapi kebijakan-kebijakan itu tidak cukup mampu untuk menghalau kejahatan di sektor anak dalam beragam bentuknya yang terus meningkat dari tahun ke tahun menyasar korban-korban anak.

Dan anak yang menjadi korban kejahatan, terlebih korban kejahatan seksual, yang kebanyakan tidak didampingi secara tuntas, akan sulit untuk bisa bangkit.

Para Gen Z ini nganggur, tidak meneruskan pendidikan, atau tidak ikut pelatihan-pelatihan, sejak tahun 2019 dikenal sebagai NEET (not in employment, education, and training).

Ada sekitar 5, 73 juta perempuan dan 4,17 juta laki-laki Gen Z berusia 15-24 tahun yang menjadi NEET di tahun 2023. Itu artinya sama dengan 22, 3 persen dari total penduduk usia muda di Indonesia.

Dan itu berarti dalam sepuluh tahun terakhir, rezim Jokowi berhasil menciptakan sejarah, berupa record Gen Z nganggur berjumlah paling besar yang pernah dihasilkan selama ini.

Pada tahun 2019, anak muda yang bekerja ada 39,3 persen. Di tahun 2020 terjadi penurunan menjadi 38,6 persen. Di 2021 ada 38,0 persen, di 2022 ada 38,4 persen, dan tahun 2023 terdapat 40, 2 persen.

Sedangkan jumlah anak muda yang tidak sekolah pada tahun 2019 sebesar 35,8 persen, tahun 2020 sebanyak 34,4 persen, 2021 sebesar 32,8 persen, tahun 2022 meningkat menjadi 35 persen, dan tahun 2023 menjadi 35, 5 persen.

Hal ini sebenarnya terkait dengan data BPS tahun 2023 yang menyebut sumber daya manusia di Indonesia yang belum atau tidak bersekolah sebesar 9,058 juta jiwa atau 3,25 persen, tidak tamat SD sebesar 25,111 juta jiwa atau 9,01 persen, tamat tamat SD sebesar 68,616 juta jiwa atau 24,62 persen, tamat SMP sebesar 63,378 juta atau 22,74 persen, tamat SMA dan SMK sebesar 84,223 juta jiwa atau 30,22 persen, dan Tamat Perguruan Tinggi berjumlah 28,288 juta jiwa atau 10,15 persen.

Pada tahun 2019, Gen Z kategori NEET yang nganggur, tidak sekolah, dan tidak ikut pelatihan-pelatihan berjumlah 21, 8 persen. Sempat mencapai angka tertinggi di tahun 2020, yakni sebesar 24, 3 persen.

Sementara itu di tahun 2021 NETT di kalangan Gen Z mencapai 22, 4 persen, tahun 2022 ada sekitar 23,2 persen, dan tahun 2023 menjadi 22, 3 persen.

Jumlah NETT yang tinggi itu sebenarnya bukan cuma kecenderungan di Indonesia, melainkan di dunia. Di tingkat global, NEET rata-rata mencapai 21, 6 persen. Dan itu tentu saja jumlahnya jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, di masa rezim Jokowi, yang sebesar 22, 3 persen.

Tema yang Tidak Membumi

Terlihat sebagai HAN terakhir di era rezim Jokowi, puncak kegiatan HAN 2024 di Istora Papua Bangkit ini dikerahkan secara meriah menampilkan, diantaranya, tarian kolosal oleh ribuan anak-anak Papua.

Jokowi dan istrinya, Iriana, beserta jajaran menteri, hadir di kegiatan ini. Begitu juga dengan jajaran para pejabat Provinsi Papua.

Adapun susunan acara, pelaksanaan kegiatan, dan anggaran disusun oleh Pemerintah Pusat, Provinsi Papua, Organisasi Aksi Solidaritas Era Koalisi Indonesia Maju (OASE-KIM), dan protokol Istana.

Rangkaian kegiatan menuju puncak acara HAN 2024 pun telah dilangsungkan, seperti Lokakarya FAN Merangkai Partisipasi Anak yang Bermakna dari tanggal 21 Juni – 17 Juli 2024, Festival Ekspresi Anak dengan Sub Tema: Anak Cerdas, Berinternet Sehat di Jakarta, dan terakhir acara Puncak HAN pada 23 Juli 2024 di Papua.

Adapun rangkaian Acara HAN ke-40 ini sebelum puncak HAN 2024 di Papua juga telah digelar di pelbagai daerah dan di luar negeri.

Intinya, Jokowi ingin acara HAN ke-40 ini digelar secara meriah dari sebelum-sebelumnya dan menjadi HAN terakhir bagi dirinya sebelum ia lengser.

Peringatan HAN 2024 kali ini mengusung tema besar yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.

Adapun terdapat enam subtema utama, yakni: Anak Cerdas Berinternet Sehat; Pancasila di Hati Anak Indonesia; Pengasuhan Layak untuk Anak: Digital Parenting; Suara Anak Membangun Bangsa; Dare to Lead and Speak Up: Anak Pelopor dan Pelapor; serta Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja Anak, dan Stunting.

Dari tema besar itu, “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, terlihat tema itu tidak membumi dan tidak realistis. Dan betapa pemerintah tidak konsisten dan ingin lepas tangan dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, yang seakan tidak bersentuhan langsung dengan sektor anak, meskipun HAN 2024 kali ini dibuat seolah meriah.

Bagaimana bisa “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, jika angka stunting (anak bergizi buruk) tetap tinggi akibat kebijakan-kebijakan rezim Jokowi. Perlu diketahui, Jokowi menargetkan prevalensi stunting di tahun 2024 mencapai 14 persen, namun di tahun 2023 masih diangka 21,5 persen.

Bagaimana mungkin “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, jika anak yang lulus sekolah ataupun lulus kuliah mereka harus menghadapi rezim Omnibus Law yang membuatnya tidak aman dan nyaman dalam bekerja.

Karena jika pun diterima bekerja, mereka harus terus-menerus memperpanjang masa kontrak kerjanya, misalnya. Belum lagi soal gaji, yang diserahkan sepenuhnya kepada pemilik perusahaan yang cenderung membayar gaji seenaknya.

Bagaimana mungkin “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, jika anak-anak Indonesia tidak terlindungi dari komersialisasi pendidikan, sehingga banyak anak dari SD, SMP, SMA, dan kuliah yang tidak melanjutkan sekolahnya lantaran tidak mampu lagi membayar biaya pendidikan.

Bagaimana bisa “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, jika yang berlangsung adalah proses penghancuran basis-basis masyarakat pedesaan, dimana anak-anak desa tidak memiliki gairah lagi menjadi petani yang sukses dan mengubahnya sekedar menjadi kaum urban, lantaran di desa sudah tidak tersedia lagi tanah untuknya agar menjadi petani yang sukses.

Intinya, anak-anak Indonesia dibawah rezim Jokowi selama 10 tahun terakhir ini cuma seolah-olah saja terlindungi oleh pemerintah, padahal yang berlangsung secara ril adalah proses operasi penghancuran secara massal masa depan anak-anak Indonesia secara terstruktur, sistemaris dan massif (TSM).

Salam Literasi Progresif.

*) Pegiat di Jaringan Anak Nasional (JARANAN) dan Klub Literasi Progresif (KLiP)