Iklan SMPB
Nasional

Hasan Nasbi Duduk di Pertamina, Komisaris Bakortiba Kian Menumpuk

×

Hasan Nasbi Duduk di Pertamina, Komisaris Bakortiba Kian Menumpuk

Sebarkan artikel ini
Hasan Nasbi Duduk di Pertamina, Komisaris Bakortiba Kian Menumpuk
Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO) Hasan Nasbi dicopot dan ditunjuk jadi komisaris Pt Pertamina/dok.ist
Hasan Nasbi Duduk di Pertamina, Komisaris Bakortiba Kian Menumpuk

Editor Indonesia, Jakarta – Pengangkatan Hasan Nasbi sebagai Komisaris PT Pertamina (Persero) oleh BPI Danantara kembali menegaskan pola lama di tubuh BUMN energi terbesar Indonesia: kursi komisaris kian sarat kepentingan politik, minim profesionalitas.

Publik mempertanyakan relevansi penunjukan Hasan, apalagi ia baru saja dicopot dari posisi Kepala Komunikasi Kepresidenan. Kritik yang muncul bukan sekadar pada figur pribadi, melainkan pada tren yang lebih mengkhawatirkan: Pertamina dikuasai oleh “komisaris Bakortiba.”

Fenomena Bakortiba dan Lemahnya Fungsi Pengawasan

Istilah Bakortiba —plesetan dari “Baca Koran Tiap-tiap Bulan”— digunakan publik sebagai sindiran bagi komisaris yang dinilai hanya hadir formalitas, tanpa kontribusi nyata, namun tetap menerima bayaran besar setiap akhir bulan.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menilai hal ini menggerus fungsi pengawasan. “Jika komisaris tidak punya pengetahuan bisnis migas dari hulu ke hilir, bagaimana mereka bisa mengawasi direksi dalam memenuhi kebutuhan BBM, LPG, dan gas bagi masyarakat hingga pelosok?” ucap Yusri, di Jakarta, Minggu (21/9/2025).

Keresahan publik makin relevan jika melihat data Kejaksaan Agung: dugaan penjarahan tata kelola minyak dan BBM periode 2018–2023 merugikan negara Rp285 triliun. Jika dihitung sejak awal pemerintahan Jokowi (2014–2024), nilainya diperkirakan bisa mencapai Rp1.000 triliun.

Jabatan Strategis, Politik, dan Makelar

Fenomena ini membuka wajah lain politik jabatan di Pertamina. Menurut Yusri, kursi komisaris kerap diperjualbelikan oleh makelar jabatan yang beroperasi di sekitar Senayan, dengan harga Rp5–10 miliar. Akses politik menjadi kunci, bukan integritas atau rekam jejak profesional.

Padahal, banyak mantan pejabat migas dan direksi Pertamina yang memiliki pengalaman serta prestasi, namun tak tersentuh hanya karena tidak memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.

Dulu Ada Figur, Kini Hanya Formalitas

CERI mengingatkan bahwa Pertamina pernah memiliki komisaris utama yang dihormati, seperti Jenderal Pol (Purn) Sutanto, Jenderal TNI (Purn) Endriartono Sutarto, hingga Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Figur-figur ini membawa integritas dan wibawa. Kini, kursi yang sama justru diisi oleh orang-orang yang diragukan kapasitasnya.

Lebih ironis lagi, BPI Danantara disebut terang-terangan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang wakil menteri rangkap jabatan di BUMN. Publik pun mulai mencurigai, kinerja BPI Danantara berpotensi lebih buruk dibanding era Erick Thohir yang dinilai mengecewakan.

Akar Masalah: Tata Kelola yang Rapuh

Masalah utama bukan sekadar siapa yang ditunjuk, melainkan rapuhnya tata kelola. Yusri menyebut adanya praktik intervensi komisaris —bahkan bekerja sama dengan mantan narapidana— untuk memengaruhi tender proyek di subholding.

Ia juga mengungkap skandal kapal tanker sejak 2012 yang hingga kini tak jelas keberadaannya, meski melibatkan dana ratusan miliar rupiah.

Kasus Hasan Nasbi, lanjutnya, menambah daftar panjang problem struktural di Pertamina. Komisaris yang seharusnya jadi benteng pengawasan malah berubah fungsi menjadi simbol politik. Publik melihat fenomena Bakortiba sebagai bukti lemahnya peran komisaris dan rapuhnya tata kelola energi nasional.

“Jika tren ini dibiarkan, Pertamina berisiko makin terjebak dalam pusaran kompromi politik. Bukan hanya mengancam profesionalitas perusahaan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap kemampuan negara mengelola aset strategisnya,” pungkasnya. (Har)

Baca Juga: MK Larang Rangkap Jabatan, Ini Wakil Menteri yang Jadi Komisaris BUMN