PolhukamPolitik

Hasto Kristiyanto Ditahan, PDIP Diuji: Menanti Arah dan Figur Baru Sang Sekjen

×

Hasto Kristiyanto Ditahan, PDIP Diuji: Menanti Arah dan Figur Baru Sang Sekjen

Sebarkan artikel ini
Pramono Diuji: Pecat ASN DKI Jakarta yang Poligami atau Selingkuh
Sugiyanto Emik, /dok.Editor Indonesia/HO-pri

Editor Indonesia, Jakarta – Penahanan Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengguncang tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sekretaris Jenderal yang selama ini dikenal sebagai tangan kanan Megawati Soekarnoputri itu, tetap menjabat secara aktif meski tengah menjalani proses hukum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

Hasto Kristiyanto telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua perkara sekaligus: dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019–2024, serta dugaan perintangan penyidikan. Upaya praperadilan yang diajukannya kandas setelah pengadilan menolak gugatan tersebut, karena perkara sudah memasuki tahap persidangan. Sidang terakhir terkait kasus ini digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 10 Maret 2025.

Penahanan Hasto Kristiyanto bukan hanya berdampak hukum, tetapi juga menyeret PDIP ke dalam pusaran pertanyaan besar: siapa yang akan menggantikan Hasto jika situasi ini berlarut?

“Sekjen bukan hanya jabatan administratif. Ia adalah lokomotif politik partai. Dalam situasi seperti ini, PDIP perlu figur kuat yang bisa menjaga stabilitas internal sekaligus membawa arah baru dalam lanskap politik nasional yang sedang berubah,” ungkap pengamat sosial-politik, Sugiyanto Emik kepada redaksi, di Jakarta, Rabu (30/4/2025)

Menurut SGY – sapaannya, penunjukan pengganti Hasto —jika itu dilakukan— tidak bisa dipisahkan dari dua dilema besar yang sedang dihadapi partai banteng: pertama, soal konsolidasi internal di tengah tekanan publik; kedua, soal penentuan sikap PDIP terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.

PDIP hingga kini belum menyatakan sikap resmi apakah akan bergabung dengan pemerintahan atau memilih tetap menjadi kekuatan di luar kekuasaan. Dalam sistem presidensial Indonesia yang tidak mengenal oposisi secara formal, pilihan ini lebih bersifat strategis ketimbang struktural.

Pasca-kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, sejumlah partai yang semula menjadi rival mulai merapat ke lingkar kekuasaan. PKB, misalnya, telah bergabung dan mendapat kursi di kabinet. PKS menyatakan dukungan programatik. NasDem bersikap akomodatif. Bahkan partai-partai kecil non-parlemen seperti PPP dan Hanura pun menyatakan dukungan terbatas.

Di tengah kecenderungan homogenisasi politik ini, PDIP berdiri sebagai satu-satunya partai besar yang belum menentukan posisi. Padahal, sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2024, PDIP memiliki modal kuat untuk memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang.

“Kalau semua partai masuk pemerintahan, siapa yang akan mengontrol kekuasaan? PDIP punya tanggung jawab historis dan moral untuk menjadi pengimbang, bukan sekadar pengritik,” ujar SGY.

Kunjungan Presiden terpilih Prabowo Subianto ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 7 April 2025, sempat memunculkan spekulasi akan terbentuknya koalisi besar. Namun, pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan politik konkret. Megawati tetap menjaga jarak dan menegaskan posisi PDIP sebagai partai dengan prinsip dan agenda sendiri.

Di sinilah peran Sekjen menjadi sangat krusial. Figur pengganti Hasto, bila nanti ditunjuk, akan menentukan arah langkah politik PDIP: apakah konsisten menjadi oposisi yang konstruktif atau justru ikut dalam pusaran kekuasaan yang semakin dominan.

“Sekjen yang baru harus punya integritas yang tidak diragukan, kemampuan komunikasi lintas generasi, serta kecakapan dalam meramu strategi politik jangka panjang. Bukan hanya loyal pada partai, tapi juga peka terhadap aspirasi rakyat,” ujar Sugiyanto

Dengan posisi parlemen yang kini diisi delapan partai, menurut SGY, PDIP memiliki ruang strategis untuk memainkan peran sebagai mitra kritis. Terlebih, dari sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju, hanya empat yang lolos ke DPR: Partai Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat.

“PDIP bisa menjadi jangkar demokrasi. Di tengah arus kekuasaan yang cenderung sentralistik, kita butuh partai besar yang tidak larut. Demokrasi bisa rusak jika semua kekuatan politik terserap ke dalam satu poros,” tutup Sugiyanto.

Kini, semua mata tertuju ke Megawati Soekarnoputri. Akankah ia mempertahankan Hasto hingga proses hukum tuntas? Atau justru mengangkat figur baru demi kepastian arah politik partai?

Jawabannya akan menjadi penentu bukan hanya masa depan PDIP, tapi juga wajah demokrasi Indonesia dalam lima tahun ke depan. (Her)