Opini

Mengapa Jokowi Tak Pernah Jawab Langsung Isu Ijazahnya? Cermin Buram Demokrasi Kita

×

Mengapa Jokowi Tak Pernah Jawab Langsung Isu Ijazahnya? Cermin Buram Demokrasi Kita

Sebarkan artikel ini
Sugiyanto: Perubahan PAM Jaya Jadi Perseroda dan IPO Sah, Sesuai Aturan
Sugiyanto Emik/dok.Editor Indonesia
Jokowi dan Ijazah Palsu Cermin Buram Demokrasi Kita

Oleh: Sugiyanto (SGY)-Emik*

Saya lelah. Bukan hanya karena isu ini tak kunjung selesai, tapi karena absennya respons langsung dari sosok yang paling berwenang: Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), atas tuduhan penggunaan ijazah palsu. Ini adalah tulisan kelima saya tentang polemik yang terus bergulir tanpa ujung ini.

Sebelumnya, saya mengira tulisan saya yang berjudul Polemik dan Pro Kontra Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Siapa yang Salah: Cara Obama Membuktikan Lahir di Hawaii Patut Dicontoh oleh Presiden ke-7 RI akan menjadi penutup. Tapi realitas berbicara lain. Perdebatan tak juga mereda. Maka, saya merasa perlu menagih—bukan dari institusi, bukan dari jubir, bukan dari aparat—melainkan dari Jokowi sendiri: mengapa Anda tak pernah berbicara langsung?

Sejak isu ini muncul pada 2019, diajukan secara hukum pada 2022 oleh Bambang Tri Mulyono, dan dilanjutkan oleh Eggi Sudjana pada 2024, berbagai klarifikasi telah disampaikan oleh pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun Bareskrim Polri. Bahkan pada April 2025, Bareskrim secara resmi menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli, berdasarkan penyelidikan dan uji forensik yang dilakukan Laboratorium Forensik Polri, membandingkan dokumen Jokowi dengan milik rekan-rekannya di Fakultas Kehutanan UGM.

Namun publik tetap ragu. Bukan karena bukti itu tak ada, tapi karena suara Jokowi sendiri tak terdengar. Klarifikasi dari institusi bersifat legalistik dan administratif. Tapi tuduhan kepada Jokowi tak hanya menyentuh aspek hukum, melainkan juga dimensi etis dan moral. Dan di ranah ini, hanya pemilik suara aslinya yang bisa meredam keraguan.

Bandingkan dengan kasus Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Ketika dituduh bukan warga negara AS dan dianggap tak layak menjadi Presiden, ia tidak bersembunyi di balik institusi. Obama tampil langsung dalam konferensi pers, menunjukkan akta kelahirannya, dan menyingkap keraguan dengan cara yang elegan dan terbuka. Ia memilih menjadi pemimpin yang hadir, bukan sekadar simbol negara.

Sayangnya, hal serupa belum terjadi di Indonesia. Jokowi tak pernah secara terbuka menjelaskan atau menampilkan langsung dokumen yang menjadi sorotan. Padahal, ini bukan sekadar soal bukti hukum, tapi soal kepercayaan publik.

Memang benar, tak ada kewajiban hukum bagi seorang Presiden untuk membuka ijazahnya ke publik. Namun, Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan jelas menyebutkan bahwa calon Presiden harus memiliki ijazah minimal SLTA atau sederajat, dan Pasal 9 huruf r PKPU Nomor 22 Tahun 2018 menjadikannya syarat administratif yang diverifikasi oleh KPU.

Persoalannya: verifikasi itu dilakukan secara tertutup. Ketika publik meragukan proses tersebut, nyaris tidak ada ruang pembuktian transparan yang terbuka. Gugatan hukum yang diajukan ke pengadilan pun kerap ditolak bahkan sebelum memasuki tahap pembuktian, seperti dalam kasus Bambang Tri dan Eggi Sudjana.

Akibatnya, publik pun melakukan penelusuran sendiri. Ada yang mempertanyakan bentuk ijazah, jenis huruf, tanda tangan, hingga teknik cetaknya. Sebagian mungkin spekulatif, namun semestinya semua keraguan itu bisa dijawab tuntas hanya dengan satu langkah sederhana: kemunculan langsung dari Jokowi untuk menjelaskan. Tapi itu tak pernah terjadi.

Demokrasi tidak cukup hanya mengandalkan legalitas. Demokrasi juga menuntut legitimasi moral. Dan legitimasi itu tumbuh dari transparansi. Ketika seorang Presiden enggan berbicara langsung atas tuduhan serius yang menyangkut integritas dirinya, publik wajar merasa dikhianati. Karena diam, dalam politik, adalah pesan.

Lebih jauh lagi, ini bukan soal menyudutkan Jokowi secara pribadi. Ini soal bagaimana bangsa ini membangun budaya demokrasi yang sehat. Di mana pemimpin tak hanya benar menurut hukum, tapi juga tegas menjawab keraguan publik. Di mana kepercayaan rakyat tidak lahir dari klarifikasi institusi, melainkan dari keberanian pemimpinnya sendiri untuk bicara apa adanya.

Jika Obama bisa menjawab tuduhan atas akta lahirnya dan tetap dipercaya dua periode, mengapa Jokowi tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap ijazahnya? Bukankah mereka sama-sama memimpin negara besar selama dua periode?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya menentukan reputasi Jokowi. Tapi juga kualitas demokrasi kita sebagai bangsa.

*) Pengamat sosial & politik nasional