Oleh: Cak AT*
Kabar baik itu datang bukan dari grup arisan RT, bukan pula dari status Facebook yang dipenuhi foto makan siang berlatar kopi latte, melainkan dari seorang kawan lama: Dr. Riza Wahono. Nama ini mungkin terdengar biasa, tapi jangan salah, dia salah seorang insinyur yang dulu ikut menggarap pesawatnya Pak Habibie.
Yaa, pesawat sungguhan, bukan pesawat kertas yang dilem anak-anak. Namun setelah PT Dirgantara Indonesia, terkena larangan pembiayaan mendesain pesawat oleh IMF pada krisis moneter 1998, ia banting setir bikin madrasah, demi melanjutkan cita-cita Habibie di jalur pengembangan manusia. Dan baru saja, lewat pesan WhatsApp yang lebih hangat dari notifikasi Shopee, ia menulis:
“Alhamdulillah, satu dari tiga tim TechnoNatura masuk ke ajang finalis Samsung Solve For Tomorrow 2025. Congratulations to team Nest-X R2045. May Allah bless you during the final. You go all long ways team.” (14:05 20/9/2025)
Saya membacanya sambil menyeruput kopi yang sudah dingin, tapi hati ini hangat. Anak-anak madrasah jadi finalis kompetisi teknologi internasional. Lha, ini baru yang namanya sarang ilmu: bukan sekadar bikin hewan bertelur, tapi juga bikin akal sehat tumbuh.
Madrasah TechnoNatura ini memang unik. Saya sudah berkali-kali datang ke kampus mereka di pinggir Kali Ciliwung di Depok, Jawa Barat. Madrasah Internasional TechnoNatura yang dikelola Yayasan CREATE (Centre for Research on Education, Arts, Technology and Entrepreneurship) ini punya cabang di Bandung dan Yogyakarta.
Mewujudkan pembelajaran STEM, mereka menghadirkan inisiatif R2045 –The Rendezvous 2045– sekaligus visi membentuk generasi emas Indonesia menyongsong seratus tahun kemerdekaan. Ia bukan sekadar slogan manis di spanduk seminar, melainkan sebuah peta jalan pendidikan yang menimbang bonus demografi, disrupsi teknologi, hingga krisis lingkungan global.
R2045 menekankan bahwa membangun negeri maju bukan hanya perkara kecanggihan AI atau deretan paten yang juga sudah dimiliki madrasah, melainkan soal membentuk karakter: empati, etika, dan kebahagiaan belajar. Di dalamnya, dibentum tim-tim, termasuk tim Nest-X khusus bidang peternakan.
TechnoNatura, sejak 2004, sudah menjajal jalur ini dengan STEAM berbasis proyek —dari hidroponik IoT sampai robotik konservasi. Dan hasilnya, bukan sekadar juara lomba, tapi terbentuknya manusia muda yang berani berpikir kritis, bekerja sama, dan tetap tersenyum di tengah kurikulum yang sering bikin kening berkerut.
Mereka hadir di ajang-ajang lomba dunia. Pada ajang Samsung Solve for Tomorrow, di tahun 2023, mereka sudah pernah jadi juara lewat tim Dasher —bukan nama supir ojek online, tapi tim inovator cilik. Tim lain, ScieTech Innovators, juga jadi finalis.
Kini, 2025, dari tiga yang mereka kirim ke ajang yang sama, satu tim melaju lagi ke final dengan ide yang katanya seputar green nest alias sarang hijau berbasis AI (Artificial Intelligence). Saya sempat terdiam: ini mau bikin sarang jadi smarter dari sarang wakil rakyat di Senayan atau gimana?
Mari kita tengok data peternakan dulu biar tidak dibilang ngawur. Menurut Prof. Dr. Ir. Muhammad Halim N, konsumsi protein hewani Indonesia pada 2024 itu penuh drama. Sapi defisit 0,4 juta ton, susu tekor 3,7 juta ton. Semua kebutuhan harus diimpor.
Tapi ayam? Malah surplus! Daging ayam lebih 0,12 juta ton, telur lebih 0,17 juta ton. Maka pemerintah pun menjadikan ayam sebagai juru selamat program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Kalau sapi itu simbol ketekunan, ayam jelas simbol ketahanan pangan dan produktif: tiap pagi dia teriak “kukuruyuk!” seperti pengingat KPI nasional.
Masalahnya, ayam juga makhluk hidup yang butuh kandang atau sarang sehat. Kalau kandang kotor, bau amonia tembus 25 ppm, ayam bisa batuk-batuk seperti mahasiswa demo yang kena gas air mata. Kalau pakan terkontaminasi logam berat, efeknya bukan cuma ayam keracunan, tapi manusia pun jadi korban rantai makanan. Maka lahirlah ide canggih: kandang berbasis AI.
Di sini absurditas jadi logis: sensor dipasang di kandang, dari suhu, kelembapan, oksigen, sampai kebisingan. Bayangkan, ayam sekarang punya fitbit, sementara sebagian manusia masih malas olahraga. AI bahkan bisa bedakan suara ayam normal dengan suara mesin rusak. Jangan-jangan kelak AI bisa juga bedakan suara ayam asli dengan jingle iklan mie instan.
Nah, di titik inilah “kandang” atau “sarang” hijau bukan lagi soal ternak. Ia jadi metafora pendidikan. Madrasah TechnoNatura tampil lewat proyek-proyek absurd tapi nyata —dari mini hutan hujan, rumah kupu-kupu, sampai konservasi anggrek lewat cloning.
Mereka bikin kurikulum yang lebih hijau dari pidato kampanye. Mereka tidak hanya mengajarkan rumus kimia, tapi juga eco-enzyme dari limbah dapur. Tidak sekadar menanam pohon, tapi membuat plant incubator berbasis IoT. Anak-anak ini sedang tumbuh di kandang yang berbeda: kandang hijau berbasis pengetahuan.
Kalau dulu Pak Habibie membuat pesawat agar bangsa ini bisa terbang, TechnoNatura membuat madrasah sebagai sarang pengetahuan agar anak-anak bangsa tidak sekadar bisa terbang, tapi juga bisa mendarat dengan selamat di bumi yang lestari.
Maka, mari kita balik perspektif. Kita sering mengeluh tragedi bangsa: defisit daging sapi, deforestasi, sampah plastik menumpuk, hingga pendidikan yang acap mandek. Tapi di tangan anak-anak TechnoNatura, tragedi itu dipelintir jadi komedi kreatif.
Ayam dan hewan sebangsanya tidak lagi jadi bahan sindiran murahan (misalnya “ayam kampus”), melainkan simbol inovasi AI. Kandang dan sarang tempat hewan-hewan berkembang biak tidak lagi tempat bau pesing, tapi laboratorium masa depan.
Dan di sinilah humor sekaligus hikmah: kehilangan sapi ternyata jadi berkah ayam, kekurangan susu jadi motivasi bikin IoT hidroponik. Bahkan, kekosongan negara dalam inovasi diisi oleh madrasah yang berani berpikir gila-gilaan.
Karena kadang, untuk menyelamatkan bumi, kita tidak butuh superman atau ironman. Cukup ayam dalam kandang hijau berbasis AI —serta anak-anak dan para guru madrasah yang berani bermimpi lebih tinggi dari atap kandangnya sendiri.
*) Cak AT – Ahmadie Thaha, Ma’had Tadabbur al-Qur’an.