Kasus dugaan jual beli paket proyek pokok pikiran (pokir) senilai Rp150 miliar di DPRD Kota Depok mengundang reaksi keras warga dan aktivis antikorupsi. Mereka mendesak KPK segera turun tangan dan menetapkan tersangka. Praktik pembagian proyek disebut dilakukan dengan modus memecah nilai paket agar bisa dilakukan lewat penunjukan langsung. Mantan anggota DPRD Depok, Nurhasim, mengaku siap menghadapi tekanan setelah membongkar dugaan tersebut.
Editor Indonesia, Depok – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengusut dugaan penyalahgunaan dana pokok pikiran (pokir) sebesar Rp150 miliar yang melibatkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok, Jawa Barat. Publik pun mendesak agar lembaga antirasuah segera menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
“Pengakuan mantan Anggota DPRD Kota Depok, Nurhasim, bisa menjadi pintu masuk untuk mengusut praktik jual beli paket pokir oleh para anggota dewan,” kata beberapa sumber kompeten di Balai Kota Depok, Sabtu (1/11/2025).
Kasus ini menuai reaksi keras dari warga dan aktivis antikorupsi. Mereka menilai praktik jual beli paket proyek pokir di DPRD Kota Depok telah mencoreng citra lembaga legislatif daerah. “Pokir seharusnya digunakan untuk aspirasi rakyat, bukan untuk memperkaya diri,” ujar salah satu sumber.
Menurut informasi, sejumlah anggota DPRD menjadikan pokir sebagai topeng untuk menguasai proyek-proyek di organisasi perangkat daerah (OPD), terutama di Dinas PUPR dan Dinas Perumahan dan Permukiman (Disrumkim).
“Dari dinas itu, dewan mendapat paket pokir senilai Rp3 miliar. Paket tersebut dijual ke kontraktor dengan fee 10 persen,” ungkap sumber tersebut.
Mereka berharap KPK dan kejaksaan memantau secara ketat praktik jual beli paket pokir yang berkedok aspirasi masyarakat.
“Paket pokir tak boleh diperjualbelikan. Biarlah OPD yang melaksanakan, dewan tidak boleh intervensi,” tegasnya.
Informasi lain menyebutkan, sebagian besar dana pokir dipecah menjadi paket-paket kecil senilai maksimal Rp200 juta agar bisa dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung (PL) tanpa proses lelang terbuka. “Kalau proyek pokir dipecah supaya bisa penunjukan langsung, itu bukan lagi aspirasi rakyat, tapi transaksi proyek. Jelas melanggar,” imbuhnya.
KPK sebelumnya telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 2/2024 yang memperingatkan seluruh anggota DPRD agar tidak menyalahgunakan dana pokir dalam penyusunan APBD. SE itu diterbitkan untuk menutup celah korupsi melalui intervensi proyek pembangunan daerah.
“Namun dalam praktiknya, pokir sering disalahgunakan menjadi alat transaksi politik dan sarana memperkaya diri. Ini harus dihentikan,” ujarnya.
Terpisah, mantan Anggota DPRD Kota Depok Nurhasim membenarkan bahwa dirinya menerima banyak telepon dari anggota dewan periode 2024–2029 setelah membongkar praktik tersebut.
“Saya tidak gentar. Apa yang saya sampaikan adalah kebenaran bahwa pokir dewan senilai Rp150 miliar diperjualbelikan kepada kontraktor dengan fee 10 persen,” tegas Nurhasim kepada editorindonesia.com, Jumat (31/10/2025). (Kis)
Baca Juga: Mafia Pokir di Depok: Anggaran Aspirasi Rakyat yang Jadi Ladang Fee dan Ijon








