Editor Indonesia, Jakarta — Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, menjadi 18 tahun penjara dalam putusan banding terkait kasus korupsi berupa suap dan gratifikasi.
Putusan itu dibacakan oleh Majelis Hakim yang diketuai Albertina Ho. Dalam salinan putusan yang diterima di Jakarta, Jumat (25/7), hakim menyatakan perbuatan Zarof mencoreng citra peradilan di Indonesia.
“Tindak pidana yang dilakukan Terdakwa Zarof membuat orang berprasangka buruk terhadap hakim-hakim di Indonesia, seolah-olah hakim mudah disuap dan diarahkan sesuai kemauan orang yang memiliki uang,” ujar Hakim Ketua.
Meski mempertahankan pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama, majelis banding menilai hukuman pidana penjara selama 16 tahun yang sebelumnya dijatuhkan belum mencerminkan rasa keadilan. Oleh karena itu, masa hukuman ditambah menjadi 18 tahun.
Sementara itu, pidana denda tetap sebesar Rp1 miliar, dengan ketentuan subsider enam bulan kurungan jika tidak dibayar.
Majelis hakim juga menyatakan penyitaan uang senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram yang disita dari Zarof tetap dirampas untuk negara.
Zarof dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pemufakatan jahat untuk memberi suap kepada hakim serta menerima gratifikasi selama menjabat sebagai pejabat di lingkungan MA.
Majelis menjerat Zarof dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sebelumnya, Zarof divonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa yang mencapai 20 tahun penjara. Namun dalam putusan banding ini, hukuman diperberat menjadi 18 tahun.
Dalam dakwaan, Zarof diduga berperan dalam pemufakatan jahat bersama penasihat hukum Ronald Tannur dan Lisa Rachmat untuk menyuap Hakim Agung Soesilo dengan uang sebesar Rp5 miliar guna mempengaruhi putusan kasasi kasus Ronald Tannur pada tahun 2024.
Selain itu, Zarof juga disebut menerima gratifikasi dalam bentuk uang dan emas sejak tahun 2012 hingga 2022 untuk mengurus berbagai perkara di MA.

Ancaman Serius bagi Reformasi Peradilan
Kasus korupsi yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, menjadi pukulan telak bagi upaya reformasi sistem peradilan di Indonesia. Dengan nilai gratifikasi fantastis mencapai Rp915 miliar dan emas 51 kilogram, serta dugaan suap terhadap Hakim Agung untuk mempengaruhi putusan, perkara ini menegaskan bahwa praktik jual beli perkara belum benar-benar diberantas dari tubuh lembaga peradilan tertinggi.
Praktik suap di tingkat Mahkamah Agung mencederai prinsip fundamental negara hukum, yakni independensi kekuasaan kehakiman. Padahal, independensi hakim merupakan benteng terakhir bagi pencari keadilan, dan menjadi tolok ukur kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional.
Menurut sejumlah pakar hukum, kasus Zarof dapat memperparah persepsi publik bahwa vonis di pengadilan bisa “diatur” melalui jalur belakang. Hal ini berpotensi memicu delegitimasi terhadap putusan-putusan pengadilan dan memperlemah semangat reformasi birokrasi di tubuh MA.
Skandal ini juga memperlihatkan adanya celah dalam pengawasan internal Mahkamah Agung, terutama dalam periode panjang antara 2012 hingga 2022, ketika praktik gratifikasi diduga terjadi secara sistemik. Penguatan sistem pelaporan, rotasi pejabat, serta pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial dan KPK menjadi semakin mendesak.
Secara umum, kasus ini menambah daftar panjang skandal korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, setelah sebelumnya publik diguncang oleh kasus suap yang menjerat Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.
Para aktivis antikorupsi menilai bahwa vonis berat terhadap Zarof merupakan langkah maju, namun tidak cukup. Perlu langkah-langkah sistemik untuk mencegah pengulangan kasus serupa, antara lain:
- Evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penunjukan pejabat di MA.
- Reformasi struktural dan pembatasan kewenangan administratif yang rawan disalahgunakan.
- Peningkatan integritas melalui pelatihan etika dan pelaporan kekayaan secara berkala.
- Penguatan whistleblowing system di internal lembaga peradilan.
Tanpa reformasi menyeluruh dan pengawasan ketat, kasus Zarof Ricar dikhawatirkan hanya menjadi puncak gunung es dari praktik mafia peradilan yang lebih luas. (Har)












