Editor Indonesia, Takengon – Sejumlah kebijakan kontroversial yang dikeluarkan Bahlil Lahadalia sejak dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Agustus 2024 dinilai berpotensi merugikan reputasi dan posisi Presiden Prabowo Subianto di mata publik.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (9/4/2025) dari, Takengon, Aceh Tengah.
“Jika benar ada wacana reshuffle Kabinet Merah Putih pasca-Lebaran, kami mengusulkan agar Bahlil digeser dari posisinya sebagai Menteri ESDM,” ujar Yusri.
Menurutnya, posisi Kementerian ESDM sangat vital dan strategis dalam pengelolaan sumber daya alam demi ketahanan energi nasional dan kemajuan bangsa.
“Selama ini, posisi Menteri ESDM biasanya diisi oleh kalangan teknokrat atau profesional yang mampu fokus pada target nasional dan meminimalisir konflik kepentingan. Belum pernah sebelumnya jabatan ini diisi oleh Ketua Umum partai politik,” jelas Yusri.
Yusri menilai, sejumlah kebijakan Menteri ESDM Bahlil yang menuai kontroversi tampak tidak didasari kajian akademik yang memadai ataupun masukan dari para ahli. Hal ini, menurutnya, turut memunculkan sentimen negatif terhadap pemerintahan Presiden Prabowo di sektor energi.
“Contohnya, upaya meningkatkan lifting nasional dengan mengeluarkan ancaman bernada premanisme. Hal ini tentu membingungkan dan membuat investor asing berpikir ulang untuk berinvestasi di sektor hulu migas, yang penuh risiko, apalagi saat ini produksi minyak nasional terus merosot di bawah target APBN,” papar Yusri.
Ia juga mengkritik pernyataan Bahlil yang menyebut akan melakukan hilirisasi LPG. “Pernyataan ini sangat keliru. LPG adalah produk akhir dari proses hilirisasi, yaitu hasil ekstraksi propana (C3) dan butana (C4) dari gas yang kemudian diblending,” ungkapnya.
Yusri menambahkan, Bahlil bahkan berencana membangun banyak fasilitas produksi LPG, padahal gas yang diproduksi di Indonesia minim kandungan C3 dan C4. Akibatnya, produksi nasional hanya sekitar 1,9 juta ton per tahun, sementara kebutuhan mencapai 8,7 juta ton. Sisanya harus ditutupi dengan impor sekitar 7 juta ton per tahun.
“Untuk mengurangi beban subsidi LPG 3 kg yang terus meningkat—di tahun 2025 bahkan mencapai Rp 87,6 triliun—solusinya adalah mempercepat pembangunan jaringan gas kota yang dibiayai APBN dan pembangunan pipa gas penghubung Jawa-Sumatera. Namun, kebijakan yang diambil justru bertolak belakang,” tegas Yusri.
Yusri juga menyoroti rencana Bahlil pada 11 Maret 2025 lalu untuk membangun kilang minyak berkapasitas 1 juta barel per hari serta kilang DME (Dimethyl Ether) sebagai substitusi LPG yang dananya akan berasal dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
“Proyek ini hampir pasti sulit mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan global, yang kini enggan mendukung proyek energi fosil karena dianggap sebagai sumber utama emisi karbon,” katanya.
Ia juga mempertanyakan kelayakan proyek kilang 1 juta barel tersebut yang diperkirakan menelan biaya USD 18 miliar, apalagi tanpa kerja sama dengan negara produsen minyak. “Ini justru akan membuat Indonesia makin tergantung pada kartel minyak mentah dunia,” jelas Yusri.
Sebagai perbandingan, Yusri menyebut proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Pertamina Balikpapan yang hingga kini belum selesai, padahal hanya menambah kapasitas 100.000 barel per hari dan bertujuan memproduksi BBM berstandar Euro 5. “Change order proyek ini bahkan melebihi 10 persen, yang berpotensi bermasalah secara hukum karena tekanan finansial yang dialami kontraktor EPC dan subkontraktornya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusri mengatakan bahwa seharusnya pemerintah mendorong sinergi Pertamina dengan Holding PTPN untuk membangun kilang biodiesel dan bioetanol guna menghasilkan green gasoline secara luas di seluruh nusantara. Namun, proyek ini justru terkesan diabaikan.
“Padahal, dua investor besar dunia sudah mundur dari proyek DME dengan PT Bukit Asam dan Pertamina karena dinilai tidak ekonomis dan berdampak buruk terhadap lingkungan,” tambahnya.
Yusri juga mengingatkan bahwa Presiden Jokowi sudah melakukan peletakan batu pertama proyek kilang DME di PT Bukit Asam sejak 24 Januari 2022, namun hingga kini proyek tersebut mangkrak.
“Seharusnya pemerintah tidak menggunakan dana dari BPI Danantara untuk proyek DME ini. Tujuh pemegang izin PKP2B yang mendapat perpanjangan izin menjadi IUPK telah diwajibkan untuk melakukan hilirisasi batu bara, termasuk membangun proyek DME,” ujar Yusri.
Ia mencurigai bahwa Bahlil justru sedang berupaya menyelamatkan kewajiban perusahaan tambang besar seperti PT Adaro Energy, PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, PT Kideco Jaya Agung, PT Multi Harapan Utama, PT Kendilo Coal, dan PT Berau Coal. “Entahlah,” imbuhnya.
Kebijakan kontroversial lainnya yang dianggap cukup mengkhawatirkan adalah rencana pengalihan seluruh proses pengadaan minyak mentah, BBM, LPG, dan LNG dari Pertamina dan subholding-nya ke BLU Lemigas.
“Banyak pihak menduga bahwa penyidikan yang dilakukan Pidana Khusus Kejaksaan Agung terhadap dugaan korupsi impor minyak periode 2018–2023 merupakan bagian dari upaya mengalihkan kewenangan dari Pertamina ke BLU Lemigas,” katanya.
Terakhir, Yusri menyoroti kebijakan Bahlil yang mencabut penugasan kepada PT PGN Tbk sejak 2016 dan mengalihkannya kepada PT PLN EPI pada 22 Januari 2024, berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 20.K/MG.01/MEN.M/2024. Pengalihan ini disebut dilakukan tanpa pertimbangan teknis maupun komersial yang dapat dipertanggungjawabkan secara tata kelola.
“Konon, keputusan ini disinyalir berkaitan dengan permintaan saham dalam proyek pembangunan pipa West Natuna Transportation System (WTS) sepanjang sekitar 5 km ke Pulau Pemping, Kepulauan Riau, dengan nilai investasi sekitar USD 60 juta,” tutup Yusri. (Didi)