HukumPolhukam

Kejagung Harus Pastikan Pertamina Tak Lagi Ulangi Penyimpangan dalam Pengadaan BBM

×

Kejagung Harus Pastikan Pertamina Tak Lagi Ulangi Penyimpangan dalam Pengadaan BBM

Sebarkan artikel ini
Fransjono Lazarus Didorong Jadi VP PHE, Aktivis: Ada Jejak Proyek Bermasalah
Ilustrasi/dok.Editor Indonesia-AI

Editor Indonesia, Jakarta – Kejaksanan Agug (Kejagung) harus pastikan Pertamina tak ulangi penyimpangan pengadaan impor minyak mentah dan kondensat untuk kebutuhan kilang, serta impor bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai sekitar 1 juta barel per hari. Kendati, Kejagung sedang menyelidiki dugaan penyimpangan tata kelola impor periode 2018–2023. Hanya pada tahun 2023, kerugian yang ditaksir mencapai Rp193,7 triliun, dengan sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, menegaskan bahwa penghentian impor minyak dan BBM dapat memicu kelangkaan di SPBU, yang berpotensi menimbulkan krisis sosial, ekonomi, bahkan politik jika berlarut-larut.

“Jika impor tidak dilakukan, dampaknya akan sangat serius. Kelangkaan BBM bisa berujung pada krisis yang lebih besar,” ujar Yusri, di Jakarta, Selasa (25/3/2025).

Produksi Minyak Nasional Terus Merosot

Yusri mengungkapkan bahwa penurunan produksi minyak dalam negeri menjadi penyebab utama ketergantungan pada impor. Sepanjang tahun 2024, produksi minyak nasional hanya sekitar 575.000 barel per hari, sementara konsumsi telah mencapai 1,5 juta barel per hari.

“Jadi, meskipun seluruh karyawan Pertamina—sekitar 30 ribu orang—ditangkap, tetap saja kita harus mengimpor sekitar 1 juta barel setiap harinya,” tegasnya.

Direksi Pertamina dalam Tekanan Besar

Menurut Yusri, kondisi ini membuat Direksi Pertamina dan Subholding berada dalam situasi yang sangat sulit.

“Direksi Pertamina saat ini berada dalam tekanan luar biasa. Ibarat buah simalakama, salah langkah sedikit bisa berujung pada kehancuran,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, yang baru menjabat, kini dihadapkan pada badai besar yang dapat menggoyahkan stabilitas perusahaan.

“Apalagi, kepercayaan publik terhadap kualitas BBM Pertamina menurun, sementara bank dan lender internasional yang telah memberikan pinjaman dalam bentuk global bond miliaran dolar mulai khawatir dan bahkan bisa meminta percepatan pelunasan,” kata Yusri.

Krisis Kepercayaan dan Potensi Penambahan Tersangka

Saat ini, banyak pejabat Pertamina yang harus bolak-balik ke Kejagung untuk memberikan kesaksian terkait dugaan penyimpangan impor minyak.

“Bagaimana mereka bisa bekerja dengan tenang memastikan ketersediaan BBM dan LPG bagi rakyat, sementara mereka terus dipanggil untuk memberikan kesaksian?” tutur Yusri.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, Yusri memperkirakan jumlah tersangka bisa bertambah hingga 20–30 orang, termasuk pejabat Pertamina dan mitra usahanya.

“Kebingungan juga melanda bagian pengadaan minyak mentah dan BBM di Pertamina. Mereka belum tahu apakah masih harus menggunakan General Terms and Condition (GTC) lama atau beralih ke yang baru. Jika tetap menggunakan GTC lama, maka ada risiko kasus serupa akan terulang,” jelasnya.

Kejagung Diminta Proaktif Selamatkan Pertamina

Yusri menekankan bahwa Kejagung harus mengambil langkah yang lebih proaktif untuk menyelamatkan Pertamina dari dampak buruk penyelidikan ini.

“Kejagung harus segera merekomendasikan penonaktifan pejabat di holding dan subholding yang diduga terlibat, agar proses bisnis Pertamina tidak terganggu,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa tindakan Kejagung dalam menyidik kasus ini seharusnya bertujuan menyelamatkan keuangan negara dan Pertamina, bukan justru menimbulkan kerugian baru yang tak perlu.

“Jika langkah ini tidak dilakukan dengan hati-hati, maka dampaknya bisa jauh lebih luas, baik bagi ekonomi nasional maupun stabilitas sosial,” pungkas Yusri. (RO/Didi)