Nasional

Kemenhut Pastikan Karbon dari Kawasan Berkonflik Tak Masuk Skema Perdagangan

×

Kemenhut Pastikan Karbon dari Kawasan Berkonflik Tak Masuk Skema Perdagangan

Sebarkan artikel ini
Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kemenhut Ilham (kiri) dalam rapat terkait perubahan pembangunan ekosistem perdagangan karbon sektor kehutanan di Jakarta, Jumat (26/9/2025)/Dok.antara

Editor Indonesia, JakartaKementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan bahwa kredit karbon dari sektor kehutanan yang memiliki konflik dengan masyarakat sekitar tidak akan dilibatkan dalam perdagangan karbon. Langkah ini diambil untuk menjaga kualitas, integritas, dan kredibilitas karbon Indonesia di pasar global.

Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kemenhut, Ilham, S.T., M.T., menjelaskan hal tersebut dalam rapat terkait pembangunan ekosistem perdagangan karbon sektor kehutanan di Jakarta, Jumat (26/9). Ia menyebut pihaknya tengah menunggu penyelesaian revisi Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Sektor Kehutanan.

“Kenapa harus ada SOP? Karena tanpa pertimbangan teknis, karbon kredit dari PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), perhutanan sosial, maupun KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem) bisa saja terkait konflik dengan masyarakat atau bahkan mengandung indikasi fraud,” ujar Ilham.

Ia menambahkan, pertimbangan teknis dalam revisi regulasi tersebut akan menjadi kunci dalam memastikan karbon yang diperjualbelikan memiliki standar tinggi dan tidak merugikan masyarakat sekitar.

“Dalam pertimbangan teknis kita fokuskan, kita tidak akan meloloskan hal-hal yang bersifat indikasi fraud kepada komunitas maupun masyarakat,” katanya.

Kemenhut juga menekankan bahwa penyempurnaan aturan ini penting untuk menghindari potensi penipuan dalam transaksi karbon yang dapat merugikan negara sekaligus menurunkan kepercayaan internasional terhadap komitmen Indonesia.

Pemerintah berencana mendorong potensi karbon dari sektor kehutanan masuk ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) yang dinilai lebih stabil di tingkat global. Namun, langkah itu masih menunggu rampungnya revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, yang saat ini masih dalam proses pembahasan. (Did)