Oleh: Sugiyanto (SGY) – Emik
Di tengah gema takbir dan semangat pengorbanan Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, izinkan saya menyampaikan: Taqabbalallahu minna wa minkum. Semoga ibadah dan pengorbanan kita diterima oleh Allah SWT dan menjadi lentera dalam meniti jalan kebenaran.
Tulisan ini lahir dari keprihatinan, bukan hanya sebagai sesama anak bangsa, tetapi juga sebagai saksi betapa nilai-nilai keadilan dalam sistem hukum kita kadang terasa sayup, nyaris sirna di balik meja-meja persidangan. Keadilan dan kepastian hukum yang semestinya menjadi fondasi negara hukum, kini terasa rapuh ketika sebuah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) bisa kembali dipertanyakan.
Ironi Putusan yang Tak Kunjung Dieksekusi
Beberapa hari lalu, seorang sahabat menghubungi saya dengan nada serius. Kami akhirnya bertemu di Jakarta Pusat dan mendiskusikan kasus yang sedang berlangsung di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Kasus itu menyangkut sengketa harta bersama antara ZA dan DE—pasangan yang telah menjalani kehidupan rumah tangga selama 40 tahun, sebelum akhirnya berpisah karena kehadiran pihak ketiga.
Setelah proses perceraian usai, ZA menggugat pembagian harta bersama. Pada 2022, gugatan itu dimenangkan oleh ZA dan dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung. Putusan MA No. 798 K/Ag/2023 tertanggal 14 Agustus 2023 secara eksplisit menyatakan bahwa pembagian harta dilakukan secara natura, atau melalui lelang jika tidak memungkinkan, lalu dibagi dua sama rata.
Namun eksekusi atas putusan itu tak kunjung dilaksanakan. DE bahkan mendaftarkan gugatan baru: pertama gugatan No. 808/Pdt.G/2024/PA.JP yang kemudian dicabut, lalu disusul gugatan ketiga dengan No. 85/Pdt.G/2025/PA.JP. Upaya ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah perkara yang telah diputus secara final dan mengikat masih bisa digugat kembali?
Ne Bis In Idem dan Risiko Pengabaian Prinsip Keadilan
Dalam sistem hukum modern, dikenal asas ne bis in idem, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh diadili dua kali atas perkara yang sama yang telah diputus dengan kekuatan hukum tetap. Asas ini bukan hanya milik hukum pidana, tapi juga berlaku dalam ranah perdata, termasuk di pengadilan agama.
Sayangnya, dalam praktik, ada celah bagi asas ini untuk dilanggar. Ketika gugatan yang secara substansi serupa tetap diterima untuk diperiksa, maka integritas sistem hukum itu sendiri dipertaruhkan. Lebih menyakitkan lagi jika pelanggaran itu menimpa seorang lansia seperti ZA, yang kini berusia sekitar 70 tahun.
Seorang staf di PTSP PA Jakarta Pusat sempat mengatakan bahwa siapa pun berhak mengajukan gugatan, dan pengadilan tidak berwenang menolaknya. Memang, prinsip access to justice melindungi hak setiap warga negara untuk mengakses pengadilan. Namun, di sinilah peran hakim menjadi krusial: untuk menilai apakah gugatan yang diajukan mengandung ne bis in idem.
Hakim tentu memiliki otoritas dalam menilai dan memutus. Namun, jika asas fundamental seperti ne bis in idem diabaikan, maka proses hukum berpotensi menjadi alat untuk memperpanjang konflik dan menunda keadilan—justice delayed is justice denied.
Peluang Pengaduan ke KY dan Laporan ke APH
Jika ZA meyakini bahwa gugatan baru tersebut melanggar asas ne bis in idem dan menghambat pelaksanaan putusan yang sah, maka ada dua langkah hukum yang bisa ditempuh:
- Pengaduan ke Komisi Yudisial (KY) — Jika ditemukan indikasi pelanggaran etika atau profesionalitas hakim, laporan dapat diajukan ke KY untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
- Pelaporan ke Aparat Penegak Hukum (APH) — Jika ada dugaan kuat bahwa upaya mengajukan gugatan berulang merupakan bagian dari skenario obstruksi keadilan atau bahkan mengandung unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), maka pelaporan dapat dilakukan ke Kejaksaan, Kepolisian, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, penting ditekankan bahwa kedua jalur ini hanya dapat ditempuh jika disertai bukti-bukti yang kuat dan alasan hukum yang rasional. Pengadilan tidak boleh dijadikan tempat untuk adu strategi tanpa dasar. Proses hukum bukanlah arena drama, tetapi tempat mencari kebenaran dan keadilan.
Menjaga Marwah Peradilan dari Dalam
Independensi hakim adalah tiang utama peradilan yang adil dan objektif. Tapi tiang itu akan rapuh jika dibiarkan berdiri sendiri tanpa pengawasan publik. Kita tidak boleh abai terhadap potensi penyalahgunaan prosedur hukum, terlebih jika itu merugikan pihak yang secara hukum telah memperoleh haknya.
Kita tidak sedang menggugat wewenang hakim. Yang kita pertanyakan adalah integritas proses, konsistensi putusan, dan keberanian untuk menegakkan prinsip hukum yang paling elementer: bahwa perkara yang telah selesai, harus dianggap selesai.
Penutup: Hukum dan Keadilan adalah Dua Hal Berbeda
Sebagai penutup, mari kita renungkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Furqan ayat 19: “Barangsiapa di antara Kami yang berbuat zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya azab yang besar.”
Mengambil hak orang lain tanpa dasar yang sah bukan hanya kezaliman hukum, tapi juga pelanggaran spiritual. Maka dari itu, mari kita jaga agar hukum tidak menjadi alat kekuasaan, tetapi tetap menjadi lentera bagi keadilan.
*) Pengamat Sosial dan perkotaan