Editor Indonesia, Jakarta – Kasus mega korupsi Pertamina merupakan pemufakatan jahat yang berlangsung dalam jangka waktu panjang, dilakukan secara terorganisir, dan menyebabkan kerugian negara yang sangat fantastis, mencapai Rp1 kuadriliun, menurut Kejaksaan Agung. Jumlah ini bahkan diklaim lebih besar dari perampokan kekayaan alam oleh VOC.
“Praktik korupsi di Pertamina tidak hanya terjadi dalam impor minyak mentah, BBM, serta distribusi BBM subsidi dan penugasan. Ada juga modus pengoplosan BBM Ron 90 menjadi Ron 92, di mana Pertalite dijual sebagai Pertamax. Oleh karena itu, kasus ini memenuhi unsur kejahatan terhadap negara, karena dilakukan secara terencana, terorganisir, dan sistematis. Dampaknya pun sangat besar, menyebabkan banyak rakyat menjadi korban dan mempengaruhi perekonomian nasional serta sendi-sendi ekonomi rakyat,” ujar Pemerhati Intelijen, Sri Radjasa MBA, dalam rilis yang diterima wartawan, Rabu (26/3).
Ia juga menegaskan bahwa kasus korupsi Pertamina termasuk dalam kategori state capture corruption, karena melibatkan pejabat dan aktor swasta dalam mengendalikan kebijakan, regulasi, serta pengambilan keputusan pemerintah.
“Lebih dahsyat lagi, pelaku korupsi Pertamina bisa dijerat dengan pasal pemalsuan dan penipuan terkait pengoplosan BBM Pertalite menjadi Pertamax,” tambahnya.
Menurut Sri Radjasa, hasil dari penjarahan uang negara dalam kasus ini diduga mengalir ke berbagai kalangan, termasuk eksekutif, legislatif, serta aparat hukum. Ia juga menyebut adanya jaringan kejahatan yang melibatkan oknum media dan LSM antikorupsi yang telah membangun koneksi di lingkungan kekuasaan.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa korupsi Pertamina mencerminkan tren baru dalam praktik korupsi, di mana para pelaku memanfaatkan jaringan kejahatan di lingkaran kekuasaan untuk melakukan serangan balik. Mereka berusaha mengadu domba antar-aparat penegak hukum (APH) guna menghambat proses hukum yang tengah berjalan.
“Serangan balik ini dilakukan melalui jaringan makelar kasus, LSM antikorupsi abal-abal, bandar judi online, dan oknum aparat hukum yang berkolaborasi dengan mafia migas. Mereka bahkan memanipulasi laporan pengaduan ke KPK untuk menjatuhkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), yang saat ini sedang membongkar skandal korupsi Pertamina,” ujarnya.
Menanggapi laporan pengaduan ke KPK, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, mengungkapkan bahwa awalnya ia ditunjuk sebagai ketua pelaksana. Namun, sepuluh hari sebelum acara bedah kasus di sebuah restoran di kawasan Senayan, ia mengundurkan diri setelah mencurigai adanya agenda tersembunyi di balik kegiatan tersebut.
“Sabar saja, nanti akan terbuka siapa aktor di baliknya dan apa motifnya,” kata Yusri.
Berdasarkan informasi yang diterima Sri Radjasa, operasi ini diduga dikoordinasikan oleh seorang makelar kasus yang belakangan sering terlihat bersama bandar judi online. Modus operandinya melibatkan kerja sama dengan LSM antikorupsi yang memiliki rekam jejak dalam pemerasan terhadap terduga korupsi, dengan dukungan dana dari bandar judi online.
Yusri juga menegaskan bahwa ia siap mengungkap nama dalang utama yang berusaha menggagalkan proses hukum dalam kasus ini.
“Modus serangan balik para koruptor semakin brutal, menyasar berbagai pihak, termasuk wartawan investigasi yang kerap menjadi sasaran intimidasi melalui kelompok kriminal terorganisir. Target mereka adalah menghentikan kerja-kerja jurnalistik yang kritis,” jelasnya.
Selain itu, Sri Radjasa menilai bahwa kelompok koruptor kini mulai menggunakan strategi politik dengan menyerang citra Presiden Prabowo Subianto.
“Serangan balik terhadap Presiden Prabowo adalah upaya mencoreng martabat kepala negara dan kepala pemerintahan. Ini merupakan ancaman serius,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa penyerangan terhadap presiden telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 218.
Serangan balik mafia migas yang melibatkan adu domba antar-penegak hukum, intimidasi terhadap jurnalis, serta upaya membentuk opini negatif di media sosial tentang penegakan hukum, menurutnya, harus dikategorikan sebagai tindakan makar terhadap hukum dan kewibawaan negara.
“Dengan meningkatnya eskalasi manuver mafia migas, Presiden Prabowo harus turun tangan untuk memastikan bahwa proses hukum dalam kasus ini berjalan dengan adil dan tuntas. Negara tidak boleh kalah oleh koruptor dan antek-anteknya,” pungkasnya. (Har)