Editor Indonesia, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus praktik korupsi yang berpotensi merugikan negara ratusan miliar rupiah di sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD). Temuan ini terkait dengan penyaluran kredit dan penanganan kredit bermasalah pada periode 2007 hingga 2023.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menerangkan, hal pertama ada indikasi fraud dalam penyaluran kredit atau pembiayaan bermasalah sebagaimana tercantum dalam POJK No.39 /POJK.03/2019. Dari 12 jenis fraud di dalamnya, ditemukan empat jenis fraud yang terjadi pada sejumlah BPD yang dicek KPK.
“Dari hasil pengecekan, kami menemukan indikasi fraud dalam penyaluran kredit atau pembiayaan bermasalah senilai total Rp 451,19 miliar,” ujar Budi usai melakukan audiensi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rabu (14/5/2025).
Ia merinci empat jenis fraud yang teridentifikasi, yakni penggunaan kredit tidak sesuai peruntukan (side streaming), debitur fiktif, debitur topengan, dan rekayasa dokumen.
Selain itu, KPK juga menyoroti masalah pembiayaan kepada pihak yang tidak termasuk dalam kepengurusan atau bukan pemegang saham pengendali (PSP) perusahaan. Akibatnya, empat penyaluran kredit macet senilai Rp 260 miliar terjadi pada tiga BPD yang diperiksa pada periode 2013-2020. Analisis kelayakan kredit yang lebih fokus pada profil key person di luar struktur perusahaan menjadi salah satu penyebab utama permasalahan ini.
Permasalahan lain yang ditemukan adalah termin pembayaran proyek yang tidak diterima bank. Pada lima BPD sampel, sebelas kredit modal kerja macet senilai Rp 72 miliar terjadi akibat pengalihan rekening pembayaran proyek tanpa sepengetahuan BPD, termin pembayaran yang tidak diblokir, serta pencairan kredit yang jauh melebihi progres pekerjaan. KPK menduga adanya persengkongkolan antara debitur dan pihak lain, serta keterlibatan oknum pejabat BPD dalam kasus ini.
KPK juga menemukan indikasi bahwa sejumlah debitur yang menerima kredit senilai Rp 224,7 miliar dari lima BPD pada periode 2007-2022 sebenarnya tidak feasible untuk dibiayai. Hal ini disebabkan oleh pengabaian terhadap karakter debitur, verifikasi usaha yang tidak memadai, serta pengabaian terhadap reviu risiko dan kepatuhan.
Lebih lanjut, KPK menemukan masalah pada jaminan kredit bermasalah senilai Rp 234,4 miliar yang macet pada periode 2007-2022. Terakhir, KPK menyoroti ketidakjujuran dalam pembayaran Kredit Multi Guna (KMG) senilai Rp 20,867 miliar yang diberikan kepada anggota DPRD Provinsi periode 2015-2019 dan 2019-2024.
Keengganan anggota dewan untuk melunasi kewajiban, terutama pasca Pergantian Antar Waktu (PAW), menjadi penyebab utama kredit macet ini.
“Hal ini disebabkan keengganan anggota DPRD Provinsi untuk melunasi kewajibannya, terutama ketika anggota DPRD tersebut terkena pergantian antar waktu (PAW). PAW yang terjadi akibat kebijakan partai,” ucapnya.
KPK menduga BPD kurang gencar melakukan penagihan karena status debitur sebagai anggota DPRD Provinsi, di mana Pemerintah Provinsi merupakan pemegang saham pengendali BPD. (Didi)