Di balik proyek-proyek pembangunan yang lahir dari aspirasi rakyat, tersembunyi praktik jual beli proyek antar wakil rakyat dan kontraktor. Seorang mantan anggota DPRD Depok mengungkap terang-terangan bagaimana “pokir” berubah jadi mesin rente politik.
Editor Indonesia, Depok — Di balik deretan proyek infrastruktur yang berserak di pelosok Kota Depok, ada cerita lain yang jarang terungkap: aroma fee, ijon, dan jual beli proyek dari anggaran yang sejatinya lahir dari aspirasi rakyat — pokok pikiran (pokir) anggota DPRD.
Di atas kertas, pokir adalah jembatan antara rakyat dan pemerintah daerah. Melalui mekanisme ini, setiap anggota dewan membawa hasil reses di dapilnya untuk diterjemahkan ke dalam program pembangunan daerah. Prosesnya diatur jelas dalam Pasal 178 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, dan seharusnya menjadi bagian sah dari sistem perencanaan pembangunan daerah.
Namun, di lapangan, mekanisme ideal itu kerap berubah rupa menjadi pasar transaksional — proyek dijual, fee dibagi, dan aspirasi rakyat tinggal jargon.
“Banyak anggota dewan di Kota Depok yang menjual proyek pokir kepada kontraktor. Banyak juga yang punya perusahaan sendiri, tinggal pakai bendera lain saja,” ujar Nurhasim, anggota DPRD Depok periode 2019–2024 dari Fraksi Golkar, dalam sebuah perbincangan Jumat (31/10/2025).
Ia tidak berusaha menutupi keterlibatan pribadinya. Selama dua dekade menjadi wakil rakyat, Nurhasim mengaku kerap menjual proyek pokir dengan imbal fee 10 persen dari nilai pagu.
“Kalau nilai proyek Rp200 juta, fee saya Rp20 juta. Kalau Rp1 miliar, ya Rp100 juta,” katanya lugas.
Menurutnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mengalokasikan sekitar Rp3 miliar pokir per anggota DPRD setiap tahun, yang tersebar di sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) — mulai dari Dinas PUPR, Dinas Perumahan dan Permukiman, Dinas Pendidikan, hingga Dinas Kesehatan.
Dengan 50 anggota dewan aktif, total anggaran pokir mencapai Rp150 miliar per tahun.
“Itu data ketika saya masih menjabat. Sekarang mungkin lebih besar,” tambahnya.
Praktik penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran daerah bukan hal baru, tapi pengakuan terbuka seperti ini mempertegas betapa rapuhnya integritas pengelolaan anggaran aspirasi di level daerah.
Pokir yang semestinya menjadi ruang partisipatif warga, justru berubah menjadi ladang rente.
“Dalam praktiknya, pokir sering disusupi kepentingan pribadi dan transaksi yang tidak sesuai dengan RPJMD. Banyak yang sekadar mencari proyek, bukan memperjuangkan aspirasi,” kata Nurhasim.
Kondisi ini diamini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sejak lama menyoroti potensi penyimpangan anggaran pokir di berbagai daerah.
Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo menegaskan, pokir bukan untuk kepentingan pribadi atau politik. “Pokir bukan ruang kompromi politik atau alat tukar-menukar kepentingan. Itu amanat konstitusional yang wajib dikelola dengan akuntabilitas,” tegas Ibnu.
KPK menilai, penyalahgunaan pokir bisa berujung pada tindak pidana korupsi, apalagi bila disertai praktik fee, ijon, atau penunjukan langsung kontraktor tanpa prosedur.
Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang bermain, tetapi sejauh mana permainan itu dibiarkan berlangsung tanpa pengawasan serius.
Di Depok, rakyat mungkin melihat hasil pembangunan fisik dari anggaran pokir. Tapi di balik itu, masih tersisa jejak transaksi yang tak pernah benar-benar selesai dipertanggungjawabkan. (Kis)
Baca Juga: KPK Akan Panggil Bupati Pati Sudewo soal Dugaan Fee Proyek Rel KA






