Pendidikan

Mahasiswa FKUI Menyeru: Jangan Bungkam Guru Kami dan Cederai Pendidikan Kedokteran

×

Mahasiswa FKUI Menyeru: Jangan Bungkam Guru Kami dan Cederai Pendidikan Kedokteran

Sebarkan artikel ini
Mahasiswa FKUI Menyeru: Jangan Bungkam Guru Kami dan Cederai Pendidikan Kedokteran
Mimbar Bebas Salemba Bergerak, Peringatan Hari Kebangkitan Nasionak ke 117/dok.Editor Indonesia-Fauzi
Mahasiswa FKUI Menyeru: Jangan Bungkam Guru Kami dan Cederai Pendidikan Kedokteran

Editor Indonesia, Jakarta – Di tengah reformasi sistem kesehatan dan polemik rumah sakit pendidikan, suara mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menegaskan pentingnya integritas dan nilai kemanusiaan dalam mendidik dokter Indonesia.

Mereka bersama Guru-guru besar FKUI, bertepatan pada Hari Kebangkitan Nasional ke-177 pada Selasa, 20 Mei 2025, menggelar mimbar bebas bertajuk Salemba Bergerak. Dari sekian perwakilan mahasiswa dan Guru Besar yang tampil, suara dari perwakilan Mahasiswa Tingkat 2 FKUI, yang menyerukan kecemasan dan kegaluannya patut direnungi.

Berikut curahan hati mahasiswa tingkat 2 FKUI – Modul Pengembangan Personal Profesional ini:

Saya masih mengingat jelas momen ketika pertama kali diterima di Fakultas Kedokteran. Ada rasa bangga sekaligus haru ketika diperkenalkan dengan para guru besar yang tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang luhur.

Mahasiswa FKUI Menyeru: Jangan Bungkam Guru Kami dan Cederai Pendidikan Kedokteran

Salah satu momen paling membekas dalam benak saya adalah kuliah bersama Prof. Damayanti. Saat itu, beliau mengajukan pertanyaan sederhana namun menggelitik:
“Kalau pasien kalian membutuhkan pengobatan yang tidak tersedia di negara ini, apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan diam saja dan berkata, ‘Mohon maaf, di sini belum tersedia’?”

Kami terdiam. Lalu beliau berkata tegas,
“Tidak boleh. Sebagai dokter, kalian harus berjuang untuk pasien kalian, bukan sekadar memberikan apa yang ada, tetapi memastikan mereka mendapat yang terbaik.”

Hari itu, Prof. Damayanti tidak hanya mengajar, ia menanamkan makna sejati dari advokasi dan integritas seorang dokter. Nilai ini terus diulang dan ditekankan oleh para guru kami yang lain—bahwa menjadi dokter berarti menjadi pelayan kemanusiaan, bukan sekadar teknisi kesehatan.

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, rasa aman dan hormat terhadap nilai-nilai luhur ini mulai tergerus. Berita tentang kasus kekerasan seksual oleh seorang peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) mengguncang kami. Tapi yang lebih menyakitkan adalah narasi yang berkembang setelahnya—seolah-olah seluruh dunia kedokteran adalah institusi yang rusak dan berbahaya.

Kami sedang belajar menjadi dokter yang baik. Tapi atmosfer yang tercipta membuat kami merasa dicurigai, diawasi, bahkan dihakimi secara kolektif.

Saya memahami bahwa dalam sistem pendidikan kedokteran, PPDS bukan hanya pelajar pasif. Mereka belajar melalui praktik langsung di bawah supervisi dokter senior. Ketika Menteri Kesehatan, yang bukan berasal dari latar belakang kesehatan, menyatakan keheranannya bahwa PPDS “melakukan” sesuatu yang seharusnya dilakukan konsulen, saya sadar: ada jarak pemahaman yang dalam antara pengambil kebijakan dan realitas pendidikan kedokteran.

Belum usai perasaan kecewa itu, hak kolegium kedokteran dicabut sepihak oleh Kementerian Kesehatan. Saat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan sikap, Ketua IDAI tiba-tiba dipindahkan dari RSCM tanpa pemberitahuan langsung. Saya—sebagai mahasiswa—merasakan lebih dari kemarahan. Saya merasa dikhianati oleh negara yang seharusnya melindungi pendidikan kami.

Senior-senior kami belajar dari beliau. Dari cara beliau menangani pasien, dari etika, dari semangat pengabdian. Jika tokoh seperti itu bisa disingkirkan begitu saja, bagaimana nasib pendidikan kami ke depan?

Lalu muncul isu pemisahan universitas dan rumah sakit pendidikan. Saya belum sepenuhnya paham detail kebijakan ini, tapi satu hal pasti: jika para dokter klinis tidak lagi boleh mengajar, dan dosen tidak lagi menangani pasien, maka pendidikan kedokteran akan kehilangan ruhnya. Siapa yang akan meneladani kami cara menyentuh manusia, bukan hanya mengobati penyakit?

Ketika para guru besar kami bersuara melalui gerakan “Salemba Berseru”, saya merasa bangga. Tapi di balik rasa itu, saya juga merasakan duka yang dalam. Tempat yang selama ini saya anggap suci—dunia pendidikan kedokteran—kini ikut terseret dalam tarik-menarik kekuasaan.

Saya menulis ini bukan untuk menyerang siapa pun. Tapi untuk menyampaikan bahwa saya merasa kehilangan—rasa aman, rasa percaya, dan rasa hormat terhadap sistem yang seharusnya menjaga kami.

Namun saya belum kehilangan harapan. Guru-guru kami masih berdiri tegak. Mahasiswa-mahasiswa seperti saya masih berpegang pada nilai-nilai luhur yang diwariskan. Kami percaya, profesi ini akan terus bertahan bukan karena sistem yang hebat, tetapi karena manusia-manusia yang menjaganya.

Kami akan terus belajar. Tapi kami mohon: jangan bungkam suara mereka yang mengajarkan kami bukan hanya untuk menjadi dokter, tetapi juga menjadi manusia. (Har)

Baca Juga: Rumah Sakit Sudah Masuk IGD: Instalasi Gawat Duit